Jumat, 20 November 2009

RSMI Klaim Seragam Karyawati Telah Disertifikasi MUI

Republika Newsroom
Kamis, 19 November 2009 pukul 14:08:00


JAKARTA--Manajemen RS Mitra Internasional (RSMI) Jatinegara, Jakarta Timur mengklarifikasi penyebab kemungkinan dipecatnya tiga karyawati mereka, Kamis (19/11). Menurut Manajer SDM RSMI, Warno Hidayat, pihaknya membolehkan pegawainya mengenakan jilbab. "Namun harus sesuai standard operational procedure (SOP) untuk seragam karyawati medis berjilbab, diantaranya kerudung dimasukkan ke dalam baju dan seragam berlengan tiga jari di bawah siku. Seragam kami telah mendapat sertifikasi sesuai syariat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)," terangnya.

Warno menunjukkan kopi serfitikat tersebut kepada Republika. Dalam surat bernomor U-156/DSN-MUI/V/2009 itu disebutkan, RSMI telah memenuhi syarat kesesuaian syariah seragam kerja muslimah yang dalam kegiatan atau operasionalnya terikat dengan ketentuan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.

Ketiga karyawati medis tersebut, Sutiyem, Wiwin Winarti, dan Suharti mendapat SP-3 pada 24 Agustus 2009 karena menolak SOP seragam RSMI. Menurut Warno, persyaratan seragam sudah dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang disusun manajemen bersama pihak pekerja. Kriteria seragam yang demikian menurutnya untuk meminimalisasi infeksi yang terjadi antara paramedis dan pasien. "Hal ini juga karena kami bagian dari perusahaan multinasional yang berkomitmen pada International Infection Control Standard," paparnya.

CEO RSMI, dr Handayani mengatakan, pertimbangan membatasi panjang lengan seragam hingga tiga jari di bawah siku setelah melakukan serangaian ujicoba. Panjang lengan hingga tiga jari di bawah siku menurutnya paling moderat untuk mencegah resiko infeksi dan tetap menutup aurat. "Kami juga berkonsultasi dengan Hospital Infection Control Management Resources (HICMAR) dari Australia soal kontrol infeksi ini," urainya.

Menurut Warno, ketiga orang tersebut menolak mengikuti SOP seragam dan berteguh pada keyakinannya. Ia melanjutkan, karena kedua belah pihak tidak mencapai kata sepakat dalam beberapa pertemuan bipartit yang telah diselenggarakan, jalan selanjutnya adalah Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). "Tapi kami belum tahu kapan PHK akan bisa dijatuhkan," tukasnya.

Tanggapan Anggota DPR

Anggota Komisi IX DPR RI, Ledia Hanifa, berpendapat, batasan mengenai aurat muslimah yang boleh terlihat mestinya tidak dapat ditawar. "Paling mungkin dilakukan modifikasi model pakaian agar tetap sesuai ketentuan namun batasannya tetap terjaga yaitu muka dan telapak tangan," ucapnya kepada Republika, Kamis (19/11).

Wakil rakyat dari F-PKS ini berpendapat, dalam mencegah terjadinya infeksi antar paramedis dan pasien, manajemen RS semestinya bisa mengusahakan cara-cara lain seperti menjaga kesterilan lingkungan dari penyebab infeksi. Ia mencontohkan, di beberapa RS, tenaga medis yang berjilbab tetap dapat menyempurnakan hijabnya dengan menggunakan pakaian lengan panjang. "Di dalam ruangan operasi semua paramedis mengenakan baju lengan panjang, tidak ada masalah karena kesterilannya dijaga," paparnya.

Ia mengharapkan, institusi kesehatan yang mewakili komunitas muslim seperti beberapa RS Islam dapat menjadi contoh dengan memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik namun tenaga kesehatannya tetap dapat menutup aurat dengan baik. Ia juga mengatakan akan menindak lanjuti hal ini ke asosiasi pekerja kesehatan agar organisasi tersebut dapat memberikan perlindungan kepada anggotanya. "Mengenai fatwa MUI untuk seragam itu, akan saya kaji dulu," ucapnya. c15/taq

Senin, 02 November 2009

Konsili Kedokteran Indonesia, Apa Itu?

2 November 2009 | 16:18 WIB

KOMPAS.com — Istilah Konsili Kedokteran Indonesia (KKI) mungkin belum terlalu akrab di telinga. Padahal, lembaga ini penting artinya dalam mengatur regulasi profesi kedokteran di Tanah Air.

Badan ini pula yang secara tidak langsung memberi perlindungan pada masyarakat terkait kualitas pelayanan yang dilakukan para dokter dan dokter gigi. Nah, untuk memahami bagaimana peran KKI dalam dunia kesehatan Indonesia, berikut petikan wawancara Kompas.com dengan Ketua KKI Prof dr Menaldi Rasmin, SpP(K) FCCP beberapa waktu lalu.

Sebenarnya apakah Konsili Kedokteran Indonesia itu?
KKI sebetulnya merupakan badan regulator yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam hal ini, KKI tentu tidak bekerja sendiri, tetapi bekerja sama dengan para pengandilnya, pemangku kepentingannya, misalnya Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Ikatan Dokter Indonesia, Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia, Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan, Asosiasi Rumah Sakit Kedokteran Gigi, Wakil Masyarakat, Kolegium Dokter, dan Kolegium Dokter Gigi juga termasuk di sana.

Siapa sajakah yang termasuk dalam KKI ini?
Pengurus KKI ini terdiri dari 17 orang yang merupakan representasi dari masing-masing lembaga. KKI sendiri merupakan badan independen yang bertanggung jawab langsung ke presiden dalam memberikan masukan ke negara mengenai hal-hal yang menyangkut regulasi profesi dokter dan dokter gigi.

Apa yang dimaksud dengan regulasi profesi?
Regulasi ini termasuk profil dokter Indonesia, cirinya, proses pendidikannya, proses registrasi, pengeluaran izin praktik, sistem pembinaan dokter, dan dokter gigi dalam karier serta perlindungan terhadap masyarakat dari tindakan praktik dokter dan dokter gigi. Oleh sebab itu, KKI terdiri dari konsili kedokteran dan kedokteran gigi sehingga merupakan wadah regulator dalam masing-masing profesi baik dokter dan dokter gigi.

Apakah KKI berpengaruh dalam pengambilan keputusan mengenai globalisasi dokter?
Ya, KKI berpengaruh dalam globalisasi doktek-dokter asing yang akan masuk ke Indonesia dengan melakukan penapisan terhadap dokter asing yang masuk apakah mereka cukup baik untuk menjadi dokter di negara kita. Tapi tidak sendirian, melainkan bersama Ikatan Dokter Indonesia dan Departemen Kesehatan sebagai segitiga medik.

Masalah kesehatan apa sajakah yang ditangani oleh KKI?
Masalah penting dunia kesehatan yang sedang dihadapi KKI mencakup banyak hal termasuk masalah pendidikan dokter dan dokter gigi, sampai masalah perlindungan terhadap mutu layanan praktik kedokteran dan kedokteran gigi yang diperoleh masyarakat. Begitu luasnya masalah tersebut, mulai dari masalah pendidikan, faktor kedokteran, mutu dosen, kualifikasi lulusan, proses belajar mengajar, kurikulum, quality control kurikulum, benchmarking baru yang menyatakan ini sesuai, internship, registrasi, surat izin praktik, pendistribusian dokter, penjaminan keberlangsungan pengetahuan sepanjang hayat dokter dan dokter gigi tersebut, serta perlindungan masyarakat dari kecelakaan medik.

Apakah visi dan misi KKI ini?
KKI pun mempunyai visi dan misi yang sedang dijalankan, yaitu memberikan perlindungan masyarakat antara lain dengan memberikan peningkatan mutu dokter dan dokter gigi.

dr Intan Airlina Febiliawanti

Rabu, 14 Oktober 2009

FPKS Keberatan atas RUU Rumah Sakit

By Republika Newsroom
Rabu, 30 September 2009 pukul 03:21:00

JAKARTA--Fraksi Partai Keadilan Sejahteran (FPKS) mengajukan nota keberatan atas UU Rumah Sakit yang baru disahkan oleh DPRD RI, Senin (18/9). Keberatan tersebut terutama ditujukan terhadap Pasal 34 ayat 1. Pasal itu mengatur kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.

Menurut Wakil FPKS, Zuber Safawi, rumusan frasa 'harus tenaga medis' terlalu dipaksakan karena jabatan kepala rumah sakit tidak serta-merta harus diisi oleh mereka yang berlatar medis (dokter). "Seharusnya posisi tersebut juga dapat diemban oleh mereka yang memiliki latar belakang manajemen dan kesehatan," ujar dia.

Zuber menambahkan, tugas kepala rumah sakit tidak semata-mata menata persoalan yang bersifat medis, tetapi juga mengatur hal-hal teknis lainnya seperti manajemen, keuangan, SDM, teknologi, dan lainnya. "Oleh karena itu, posisi kepala rumah sakit juga hendaknya dibuka seluas-luasnya kepada mereka yang berlatar nonmedis dan mampu mengelola rumah sakit secara profesional," imbuh Zuber.

Penggunaan frasa 'harus tenaga medis' dinilainya justru menunjukkan adanya kontradiksi terhadap pengelolaan RS yang bersifat menyeluruh tanpa ada pembedaan antara tenaga medis-nonmedis, antara medikal-non medikal. "Kami khawatir, bila pasal tersebut tetap dipakai akan menimbulkan disharmoni dan konflik dalam pengelolaan rumah sakit," tutur dia. Pasal tersebut lanjutnya, membatasi pengelolaan rumah sakit hanya mengurusi hal-hal yang bersifat medis. Padahal visi dan manajemen rumah sakit harusnya lebih komprehensif dan multi pelayanan.

Oleh karena itu, FPKS mengusulkan agar Pasal 34 ayat 1 diubah rumusannya menjadi 'kepala RS harus seorang tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang perumasahsakitan'. Frasa 'tenaga kesehatan' dinilai cukup pas karena mengakomodasi semua profesi kesehatan yang memiliki kompetensi menjadi kepala kepala rumah sakit. c09/irf

Asal Usul Rumah Sakit

Asal Usul Rumah Sakit
www.TPGImages
/

Rabu, 5 November 2008 | 07:18 WIB

PADA tahun 379 Masehi, setelah masa kekeringan dan wabah lapar menimpa, Santo Basil Agung (329-379) yang bersahabat dengan Kaisar Romawi Julian (331-363), menjual tanah keluarga, membeli makanan bagi orang kelaparan dan mendirikan rumah sakit pertama di dunia di Caesarea yang kini berada di wilayah Israel.

Rumah sakit pertama di Eropa didirikan di Roma sekitar tahun 400 Masehi. Dana pendirian rumah sakit disediakan Fabiola (kemudian dijadikan Santa Fabiola setelah wafat sekitar tahun 399 Masehi). Fabiola adalah seorang wanita bangsawan anggota keluarga Fabia yang kaya raya.

Setelah bercerai dari suami pertama yang kerap menyiksa dirinya, dia ditinggal mati suami kedua, akhirnya Fabiola memutuskan untuk menjadi pertapa dan tinggal di Yerusalem. Dia berangkat ke Betlehem tahun 395 Masehi. Namun, keterlibatan dalam pendirian rumah sakit membuat Fabiola akhirnya kembali ke Roma dan menjadi perawat bagi para pasien.

(Iwan Santosa, disarikan dari The Book of Origins, karya Trevor Homer, Penguin Books, London, 2007 dan pelbagai sumber)

Sabtu, 03 Oktober 2009

Dinkes Depok Punya Utang Rp1 Miliar

DEPOK - Dinas Kesehatan Kota Depok belum membayar tagihan dana pendamping Jamkesmas kepada 17 rumah sakit swasta dan pemerintah sebesar Rp1.013.500 ribu yang belum terbayarkan sejak awal periode Januari 2009.

Kepala Seksi Pengembangan Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Depok, Nessy Anissa mengatakan, dana pelunasan tengah diajukan ke Pemerintah Kota Depok.

"Karena yang mempunyai kewenangan terhadap proses pencairan adalah pemerintah kota, kita nggak bisa pastikan kapan keluarnya, yang penting sudah diajukan," katanya kepada okezone di Depok, Jawa Barat, Rabu (6/5/2009).

Nessy menambahkan, dana tunggakan tersebut adalah dana pendamping Jamkesmas, bagi ribuan pasien miskin yang menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). "Dana pendamping Jamkesmas, kita yang tanggung, tapi kalau Jamkesmas, pusat," jelasnya.

Jumlah masyarakat miskin yang masuk dalam kuota Jamkesmas di Depok mencapai 137 ribu orang, dan ribuan warga lainnya dicover dalam program SKTM. Rumah sakit yang belum dibayar di antaranya RS Bakti Yudha, RS Fatmawati, RS Cibinong, dan RS Polri. (ful)

Senin, 31 Agustus 2009

Cara Menyalakan / Mengaktifkan / Aktivasi Jaringan GPRS GSM pada Simpati, Kartu As dan Kartu Halo Telkomsel - Operator Seluler

Mon, 12/06/2006 - 6:58pm — godam64

GPRS adalah general pocket radio service, salah satu fitur data transfer dari penyedia jaringan seluler yang memungkinkan anda untuk berselancar di dunia maya tanpa harus menggunakan kabel dan alat piranti keras lainnya. Cukup dengan telepon selular yang anda miliki anda bisa langsung terkoneksi ke dunia maya dengan melakukan setting pengaktifan terlebih dahulu tentunya.

Syarat Pengaktifan dan Penggunaan GPRS
- Menggunakan handset / hp yang bisa gprs
- Ada software browser html / wap pada ponsel anda atau di koputer pc atau laptop jika anda menyambungkannya ke komputer.
- Kartu anda dalam keadaan aktif tidak tenggang atau grace period.
- Bagi simpati memiliki sisa pulsa minimal Rp. 500,-
- Berada di wilayah yang dijangkau fitur GPRS

A. Langkah / Tahap Aktifasi GPRS pada Kartu Halo

1. Mengirim SMS ke 6616 dengan pesan sebagai berikut :

Ketik : GPRS
Keterangan : Dikenakan tarif Rp 250 sekali kirim

2. 2 Kali Mendapatkan SMS Konfirmasi dari Server Telkomsel

Tunggu beberapa saat, anda akan menerima konfirmasi sms bahwa aplikasi gprs anda sedang diproses dan membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 48 jam atau dua hari. Setelah gprs aktif pada server, anda akan kembali mendapat notifikasi sms kedua yang menyatakan gprs anda sudah aktif.

3. Lakukan seting gprs di ponsel anda dengan parameter umum :
- Connection Name : APN Telkomsel
- Data Bearer : GPRS
- Access Point Name : telkomsel
- Username : wap
- Prompt Password : No
- Password : wap123
- Authentication : Normal
- Gateway IP address : 10.1.89.130
- Homepage : http://wap.telkomsel.com
- Connection Security : Off
- Session Mode : Permanent

B. Langkah / Tahap Aktifasi GPRS pada Kartu Simpati dan Kartu As

1. Mengirim SMS ke 6616 dengan pesan sebagai berikut :

Ketik : GPRS[spasi]nomor ICCID (Integrated Circuit Card Identification) di belakang sim card simpati anda
Contoh : GPRS 6210001234567890
Keterangan : Dikenakan tarif Rp 350 sekali kirim

2. 2 Kali Mendapatkan SMS Konfirmasi dari Server Telkomsel

Tunggu beberapa saat, anda akan menerima konfirmasi sms bahwa aplikasi gprs anda sedang diproses dan membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 48 jam atau dua hari. Setelah gprs aktif pada server, anda akan kembali mendapat notifikasi sms kedua yang menyatakan gprs anda sudah aktif.

3. Lakukan seting gprs di ponsel anda dengan parameter umum :
- Connection Name : APN Telkomsel
- Data Bearer : GPRS
- Access Point Name : telkomsel
- Username : wap
- Prompt Password : No
- Password : wap123
- Authentication : Normal
- Gateway IP address : 10.1.89.130
- Homepage : http://wap.telkomsel.com
- Connection Security : Off
- Session Mode : Permanent

Selamat mencoba dan semoga berhasil

---

Tips :
Dengan GPRS anda bisa melakukan banyak hal. Temukan hal-hal yang menarik dari GPRS pada fitur search di sebelah kiri :)

Selasa, 23 Juni 2009

RS Dilarang Tolak Gakin

Rabu, 24 Juni 2009 | 06:20

KOMPAS.com - Pengelola rumah sakit pemerintah dan swasta yang menjalin kerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta dilarang menolak pasien yang datang dengan kartu Keluarga Miskin. Pidana enam bulan, pencabutan izin, dan denda Rp 50 juta akan dikenakan kepada yang melanggar.

Ancaman hukuman itu muncul dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta untuk membahas rancangan Peraturan Daerah (Perda) Sistem Kesehatan Daerah, Selasa (23/6).

Juru bicara Fraksi Partai Demokrat, Lucky P Sastrawiria, mengatakan, perda itu akan menjamin warga miskin pemegang kartu Gakin selalu terlayani dengan baik di rumah sakit atau puskesmas. Selama ini pemegang kartu Gakin ada yang ditolak rumah sakit karena berbagai alasan.

Penolakan sering diakibatkan pemerintah terlambat membayar tagihan Gakin. Penolakan ini jelas menyulitkan warga miskin yang sedang sakit dan segera membutuhkan pengobatan.

Di sisi lain, Pemprov juga harus menjamin pembayaran tagihan Gakin dari rumah sakit tidak terhalang oleh kerumitan birokrasi. Dengan demikian, semua pihak dapat diuntungkan.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, sanksi diperlukan untuk menegakkan peraturan ini. Dalam melayani masyarakat miskin, semua pihak harus memberi pelayanan prima.

Sanksi bagi pengelola rumah sakit yang menolak pasien dengan kartu Gakin akan diberikan secara bertahap, mulai dari peringatan lisan, peringatan tertulis, sampai pencabutan izin operasi dan tuntutan pidana.

Preventif diutamakan

Selain sanksi bagi rumah sakit, Perda Sistem Kesehatan Daerah juga mengubah prioritas penanganan kesehatan masyarakat, dari mengobati menjadi mencegah atau preventif. Sistem kesehatan yang bersandar pada prioritas pengobatan dinilai sangat mahal dan tidak meningkatkan standar kesehatan warga.

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati mengatakan, di setiap kelurahan akan ditempatkan seksi kesehatan masyarakat. Seksi kesehatan masyarakat bertugas mendorong warga untuk membersihkan lingkungan dan mencegah berbagai penyakit menular, seperti demam berdarah dengue dan diare.

Posyandu untuk menjaga kesehatan anak balita dan mencegah gizi buruk semakin digiatkan. Keluarga berencana juga akan digiatkan kembali untuk membatasi angka kelahiran.

Para petugas kesehatan di puskesmas kelurahan dan kecamatan akan dilatih untuk siaga bencana. Mereka harus mempunyai pedoman standar operasi jika terjadi musibah di sekitar lingkungan tempat kerja.

”Bencana banjir, ledakan bom, pesawat jatuh, dan kecelakaan lalu lintas dapat terjadi sewaktu- waktu di berbagai tempat di Jakarta. Petugas kesehatan harus terlatih dan mengerti langkah- langkah yang harus dilakukan jika terjadi bencana,” kata Dien.

Dalam kondisi normal, kata Dien, petugas kesehatan juga harus mengawasi pembuatan makanan yang dijual kepada warga. Makanan kecil yang kerap dijajakan di sekolah-sekolah juga harus diawasi kandungannya.

Setiap orang atau badan hukum pembuat makanan, jamu, dan obat yang dijual ke masyarakat harus mendapat rekomendasi gubernur. Pengawasan pembuatan makanan dan obat akan dilakukan di tingkat kelurahan.

”Jangan sampai warga mengonsumsi makanan yang mengandung bahan berbahaya. Penyakit dari makanan yang tidak sehat mungkin tidak muncul dalam waktu dekat, tetapi akan parah pada masa depan,” kata Dien. (ECA)

Minggu, 21 Juni 2009

RS Omni Dirikan Kawasaki Center

Kompas, 26 Juli 2008 | 18:50 WIB

JAKARTA, SABTU - Banyak kalangan yang belum memahami penyakit Kawasaki, bahkan di kalangan medis sekalipun. Karena itu Rumah Sakit Omni International Alam Sutera, Tangerang Sabtui (26/7) meresmikan Kawasaki Center dan Perkumulan Orang Tua Penderita Kawasaki Indonesia (POPKI).

"Tujuan peresmian Kawasaki Center adalah sebagai pusat pengobatan penyakit Kawasaki (PK)," jelas dr. Najib Advani, Chairman Kawasaki Center RS Omni International Hospital Alam Sutera, di RS Omni International Hospital Alam Sutera, Tangerang.



Kawasaki Center yang merupakan pertama dan satu-satunya di Indonesia ini berada di lantai 3 RS Omni International Hospital Alam Sutera, Tangerang. Ketua POPKI Soeyanny A. Tjahja yang juga penderita penyakit Kawasaki berharap bahwa perkumpulan ini dapat menjadi wadah bagi orang tua penderita PK untuk berbagi pengalaman dan informasi mengenai PK. "Perkumpulan ini dapat memudahkan orang tua penderita kawasaki untuk memperoleh informasi serta solusi dari semua keluhan yang ada," ungkap Soeyanny.

Adanya Kawasaki Center diharapkan dapat menjadi membantu masyarakat menangangi secara dini penyakit Kawasaki sehingga tidak sampai terlambat dan menjadi parah. "Masyarakat diharapkan bisa lebih waspada," jelas dr. Najib.



Dan penderita PK menurut Soeyanny harus terus berjuang melawan penyakit yang hingga kini belum diketahui penyebabnya tersebut.

Senin, 15 Juni 2009

RS Omni Seharusnya Jangan Terlalu Arogan

JAKARTA, KOMPAS.com 9 Juni 2009 — Dalam menangani kasus Prita Mulyasari, RS Omni Internasional dan para dokter masih merasa sebagai pihak yang paling benar sehingga terkesan arogan. Demikian penilaian Bahtiar Husain, lembaga Advokasi Kedokteran Indonesia, dalam diskusi yang bertajuk "Kasus Prita Dilihat dari Sisi Hukum Medis", Selasa (9/6).

Menurut dia, RS Omni seharusnya melakukan menyelesaikan kasus tersebut secara baik-baik. "Saya menyayangkan hal tersebut, seharus pihak Omni merangkul Prita. Karena dalam peraturan perundangan-undangan mengenai kesehatan, rumah sakit dan dokter dalam melakukan tugasnya berkewajiban standar profesi dan menghormati hak pasien," katanya.

Lebih lanjut ia meminta agar pihak Omni tidak terjebak kapitalisme segala bentuk dan tetap harus melekatkan fungsi sosial. "Dokter juga jangan memperburuk citra penegakan hukum, jangan sampai memberi suap atau terlibat hal yang dapat mengintervensi hukum," terangnya.

Sementara itu, M Nasser, Ketua Masyarakat Kesehatan Indonesia dalam kesempatan yang sama menambahkan, tindakan RS Omni Internasional yang menuntut Prita Mulyasari adalah hal yang menggelikan. "Masa rumah sakit menuntut mantan pasiennya, itu hal yang lucu sekaligus aneh," kata dia.

Menurutnya, akan lebih baik jika permasalahan tersebut diselesaikan melalui Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Kamis, 11 Juni 2009

RS Daerah Minta Verifikasi oleh Pihak Ketiga

Kompas, 18 Maret 2008 | 19:08 WIB

SURABAYA, SELASA - Rumah sakit daerah menyatakan keberatan untuk menjalankan sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat. Sebab, keharusan memverifikasi sendiri klaim atas pelayanan rakyat miskin mengganggu tugas utama melayani orang sakit. Untuk itu, diharapkan verifikasi klaim dilakukan oleh pihak ketiga, bukan oleh rumah sakit.

Hal itu disampaikan secara terpisah Ketua Forum Pers RSU dr Soetomo dr Urip Murtedjo SpB, Direktur Rumah Sakit Haji Surabaya Prof Dr Rochmad Romdoni, dan Sekretaris RS Jiwa Menur Surabaya dr Hendro Riyanto, Selasa (18/3) di Surabaya.

“Verifikasi klaim oleh rumah sakit sendiri, jelas menyulitkan. Idealnya rumah sakit hanya melayani pasien dan tidak disibukkan urusan administrasi yang bukan tugasnya,” tutur Prof Romdoni. Dr Urip menambahkan, pihaknya telah mengusulkan kepada pemerintah pusat melalui anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Jatim agar verifikasi dilakukan oleh pihak ketiga.

Sebab, rumah sakit daerah merupakan penerima dan pihak yang membelanjakan anggaran untuk pengobatan rakyat miskin. Maka akan terasa konyol bila verifikasi dilakukan oleh rumah sakit sendiri. Selain itu, hal tersebut akan mengganggu kinerja rumah sakit yang semestinya melayani pasien sebaik-baiknya.

Pedoman pelaksana (manlak) Jamkesmas sudah diterima rumah-rumah sakit daerah. Namun, obat-obatan yang tercantum dalam manlak itu umumnya sama dengan yang ditetapkan Menteri Kesehatan pada 2007. Artinya, masih banyak kekurangan jenis obat yang bisa diberikan untuk mengobati rakyat miskin.
Dr Hendro mengatakan, jumlah dan jenis obat yang ditetapkan tidak berbeda dengan tahun lalu. Artinya, obat yang bisa digunakan sangat terbatas. Dia mencontohkan obat antidepresan yang ditetapkan untuk rakyat miskin hanya satu jenis, yakni amitriptylin.

“RSJ Menur adalah rumah sakit tipe A. Kalau pasien di puskesmas diberi amitriptylin dan di RS tipe A juga mendapat obat yang sama, apa bedanya diobati di puskesmas dan di rumah sakit,” tuturnya. Jumlah dan jenis obat yang sangat terbatas dan terlalu generik itu, menurut dr Hendro, juga menyulitkan dokter untuk mengembangkan ilmu. Padahal, dokter semestinya tidak sekadar mengobati pasien, tetapi menyembuhkan pasien.

Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Rofi’ Munawar menambahkan, sistem jamsosnas hanya konsep tambal sulam. Semestinya, pemerintah cukup memperbaiki sistem yang ada. Misalnya, klaim segera dicairkan sehingga tidak perlu PT Askes berutang ratusan miliar kepada rumah-rumah sakit daerah.
“Yang penting, Depkes harus segera melunasi tunggakan melalui PT Askes ke rumah-rumah sakit se-Jatim yang sampai akhir 2007 saja mencapai Rp 176,4 miliar. Untuk lima rumah sakit daerah milik Provinsi Jatim saja Rp 62 miliar. Kalau dengan PT Askes saja tidak ada uangnya, apa jaminan Depkes akan patuh mencairkan uang?” tutur Rofi’.

Dr Urip menambahkan, sistem apa pun, yang penting klaim atas pelayanan medis dan pengobatan untuk rakyat miskin cepat dibayar. Pencairan anggaran yang terlalu lama tentunya menyulitkan operasional rumah sakit daerah. (INA)

Senin, 01 Juni 2009

RSUD Majalengka Terancam Digugat

RSUD Majalengka Terancam Digugat Cetak E-mail
Monday, 01 June 2009
Pasien Merasa Ditelantarkan, Pilih Berobat ke RSHS
MAJALENGKA – Buruknya pelayanan RSUD Majalengka kembali menuai protes dari masyarakat dalam hal ini keluarga pasien. Bahkan, salah seorang pasien kelas VIP yang merasa ditelantarkan sempat mengamuk dan akhirnya meninggalkan RSUD Majalengka serta memilih berobat ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Hal itu seperti yang dialami pasien AI (40) warga Kelurahan Sindang Kasih Majalengka yang sempat dirawat di ruang VIP No.6 yang didiagnosa kekurangan darah. Pasien tersebut masuk ke RSUD hari Sabtu, 23 Mei 2009.
Menurut Dadan, salahseorang kerabat pasien yang datang mengadukan hal tersebut kepada Radar, kemarin (31/5) mengatakan, orangtuanya dibawa ke rumah sakit dan diagnosa mengalami kekurangan darah jenis darah O. Setelah itu pihak keluarga disarankan segera membeli darah tersebut sebanyak 5 labu dengan harga perlabu Rp250 ribu.
Namun kata dia, perawat mengatakan bahwa stok darah jenis O tidak ada di PMI maupun di RSUD Majalengka sehingga harus mengambil ke Jakarta. Karena itu, pihak keluarga harus menambah ongkos transport untuk mengambil darah.
Namun sialnya sambung dia, selang satu hari petugas tersebut datang kembali dengan tangan hampa dan alasan formulir pemesanan darah belum ditandatangani dokter sehingga ditolak pihak PMI Jakarta. Kemudian si petugas itu pun kembali meminta uang tambahan.
Merasa nyawa orangtuanya kritis sementara para perawat dan dokter terkesan acuh tak acuh, akhirnya dengan kesal merekapun akhirnya keluar dan memilih untuk berobat ke RSHS Bandung. “Yang saya heran, dari diagnosa dokter pasien ternyata mengalami gejala Anemia Hemolik dan stok darah yang dikatakan tidak ada ternyata banyak. Bahkan harganya pun lebih murah yakni hanya Rp140 ribu/labu dan kami hanya membutuhkan 2 labu saja, sehingga saya menduga ini ada sebuah permainan yang sengaja di lakukan pihak PMI,” ujarnya.
Disamping itu, ia mengaku menyesal dengan pelayanan RSUD Majalengka yang dinilai buruk. Padahal, ia saat itu berada di klas VIP yang seharusnya mendapatkan pelayanan lebih. “Bayangkan ke pasien VIP saja begitu bagaimana dengan pasien dari keluarga miskin,” ujarnya seraya mengancam akan melakukan clas action atau gugatan ke pihak RSUD Majalengka.
Sementara itu di tempat terpisah, Akhmad Khasim administratur PMI Majalengka mengatakan, kasus tersebut di luar kewenangannya. Karena kata dia, pada dasarnya PMI sudah mengajukan surat ke dokter terkait jenis darah yang dibutuhkan pasien tersebut.
Disingung soal kelangkaan darah O seperti yang dikeluhkan pasien, Ahmad membenarkan. Secara umum kata dia, memang stok darah O di Majalengka masih ada namun jenis darah O yang dimaksud untuk pasien jenis darah khusus yang harus dirujuk ke Jakarta karena keterbatasan alat yang dimiliki PMI Majalengka. (pai)

Senin, 18 Mei 2009

Rumah Sakit Telogorejo Terima ISO 9001:2008

29 April 2009 | wartawan KOMPAS Herpin Dewanto Putro

SEMARANG, KOMPAS.com - Rumah Sakit Telogorejo Semarang mendapat sertifikat ISO 9001:2008 dari badan sertifikasi ISO 9001 yang dikeluarkan VNZ New Zealand. Dengan demikian RS Telogorejo menjadi rumah sakit pertama yang mendapat sertifikat ini.

"Sertifikat ini justru menjadi beban berat bagi kami karena kami harus terus meningkatkan mutu," Direktur Utama RS Telogorejo Imelda Tandiyo, Rabu (29/4) di Hotel Gumaya Tower, Kota Semarang.

VNZ akan terus mengevaluasi kinerja RS Telogorejo selama 6-12 bulan. Apabila hasil evaluasi menunjukkan penurunan kinerja, sertifikat tersebut akan dicabut.

Country Manager VNZ Indonesia Victor Y Santoso mengatakan, RS Telogorejo berhak mendapat sertifikat ini karena ada manajemen mutu efektif yang dikembangkan secara konsisten. "Seharusnya mutu pelayanan di semua bisnis memang harus mengacu pada rumah sakit," kata Victor.

Menurut Victor, VNZ telah melakukan audit menyeluruh terhadap tiga hal, yaitu pemenuhan syarat, jaminan kepuasan konsumen, dan konsistensi pengembangan. VNZ juga berharap RS Telogorejo terus menaikkan angka ekspetasi konsumen agar manajemen mutu meningkat.

Sertifikat ISO 9001:2008 merupakan sertifikat manajemen mutu versi terbaru. Sampai saat ini sekitar 900.000 organisasi di dunia sudah mendapat sertifikat ini.

Minggu, 17 Mei 2009

Kendalikan Infeksi di Rumah Sakit

Kompas, 4 Juni 2008 | - Untuk menjamin keselamatan pasien di rumah sakit, Departemen Kesehatan bekerja sama dengan PT MRK Diagnostic meluncurkan program NICE (No Infection Campaign and Education). Program ini dirancang untuk mengubah perilaku petugas kesehatan di seratus rumah sakit selama Juni 2008 sampai Oktober 2009.

Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Farid W Husain, pada peluncuran program NICE sekaligus seminar yang diikuti sekitar 150 peserta dari Depkes, berbagai rumah sakit dan laboratorium klinik , Rabu (4/6), di Hotel Four Season, Jakarta, menyambut baik program NICE yang bertujuan memberi informasi dan kesadaran bagi semua staf di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lain tentang bahaya dan risiko infeksi yang didapat di RS sekaligus untuk memperoleh data kejadiannya di RS.

Infeksi yang diperoleh saat berada di rumah sakit (Health Care Associat ed Infection atau HAI) merupakan persoalan serius yang menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Meski sejumlah kejadian infeksi nosokomial tidak menyebabkan kematian pasien, namun menyebabkan pasien dirawat lebih lama. Hal ini mengakibatkan pasien harus membayar lebih mahal, ujar Farid.

Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang berisiko mendapat infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Saat ini, infeksi nosokomial di rumah sakit di seluruh dunia lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap.

Sejauh ini, Depkes telah memiliki program patient safety (keselamatan pasien). Salah satu pilar menuju keselamatan pasien adalah revitalisasi program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit (PPI RS). Melalui program ini, diharapkan infeksi nosokomial (infeksi yan g didapat dan atau timbul pada waktu pasien dirawat di rumah sakit), dapat ditekan serendah mungkin. Dengan demikian, masyarakat diharapkan dapat menerima pelayanan kesehatan secara optimal.

Depkes juga memiliki kebijakan nasional dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270 Tahun 2007 mengenai pedoman manajerial PPI di RS dan fasilitas pelayanan kesehatan lain, serta Keputusan Menkes Nomor 381 Tahun 2007 tentang pedoman PPI di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain. Ini menunjukkan komitmen kuat pemerintah untuk memberi layanan bermutu pada masyarakat agar tiap rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain dapat menjalankan program pencegahan dan pengendalian infeksi, katanya. (EVY)

Rabu, 13 Mei 2009

Siapkan RS Indonesia di Mekah

INILAH.COM, Mekkah - Indonesia dipandang sudah waktunya memiliki rumah sakit sendiri di Mekah. RS tipe C dianggap cukup membantu menangani masalah kesehatan dialami para jemaah calon haji Indonesia.

Ketua Komisi VIII DPR RI, Azrul Azwar, meminta Departemen Kesehatan (Depkes) menyiapkan Rumah Sakit (RS) tersebut.

"Ini merupakan program Depkes sejak lama," kata Azrul di gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/12).

Pernyataan Azrul itu didukung dr Barita, penanggungjawab bidang kesehatan pada musim haji 1429 H ini. Menurutnya, Depkes sejak lama sudah mempersiapkan langkah menuju peningkatan layanan melalui pembangunan gedung kesehatan bagi Jemaah. Namun pelaksanaannya harus minta persetujuan dewan dan berkoordidnasi dengan Depag.

Dari Depag menyambut adanya rencana itu. Namun harus diperhatikan jarak antara Daker dan tempat pelayanan kesehatan tidak boleh berjauhan. Sebab pelayanan haji harus integral dan butuh koordinasi cepat.[*/ana]

Minggu, 10 Mei 2009

Penggunaan Alat Canggih di RS Meningkat

29 April 2009 Elok Dyah Messwati


JAKARTA, KOMPAS.com - Dampak dari krisis keuangan global adalah kini terjadi peningkatan permintaan pemakaian ruang VIP dan alat-alat canggih di beberapa rumah sakit di Indonesia. Penggunaan peralatan canggih seperti MRI tadinya sangat selektif, kini hampir setiap hari alat canggih digunakan.

"Operasi lutut meningkat hampir 200 persen dalam dua tahun terakhir. Dulu pasien-pasien mampu berobat ke Malaysia dan Singapura, tapi karena krisis keuangan global, mereka lebih memilih berobat di dalam negeri," kata Direk tur Eksekutif Jogja International Hospital dr Suprijanto Rijadi pada seminar Hospital Management Program dengan topik "Krisis Keuangan Global dan Mutu Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit" di Jakarta, Rabu (29/4).

Hal lain yang menunjukkan bahwa kini pasien yang mampu lebih memilih berobat ke RS di Indonesia, menurut Ketua Asosiasi Kesehatan Masyarakat Indonesia Dr Adang Bachtiar, adalah meningkatnya jumlah operasi elektif (operasi yang direncanakan) seperti operasi jantung atau lutut.

"Peluang seperti ini t idak akan datang berkali-kali, jadi pihak rumah sakit harus segera berbenah untuk membeli pelayanan kesehatan terbaik," kata Adang Bachtiar.

Selain bertambahnya pasien dari kalangan mampu, krisis keuangan global juga menambah jumlah penduduk yang makin mi skin. Ini berarti rumah sakit juga harus membuka aksesibilitas untuk orang tidak mampu agar bisa berobat ke rumah sakit.

"Ya, memang ada Jamkesmas. Tapi alangkah lebih baik jika dilakukan tindakan promotif dan preventif agar tidak terlanjur jatuh sakit da n memerlukan dana kesehatan yang lebih besar," kata Adang Bachtiar.

Sementara itu, Ketua Komite Medik RSUP Fatmawati Jakarta Selatan Dr Dody Firmanda menyatakan prihatin karena obat dan peralatan kesehatan masih diimpor. "Bio Farma dan Kimia Farma harus dikembalikan fungsinya. Untuk bisa survive dari krisis, kita harus punya kebijakan cinta produk dalam negeri, dimulai saja dari pengadaan peralatan dan obat-obatan. Indonesia harus independen," kata Dody Firmanda.

Kalau harga obat dan peralatan naik, maka akan berujung pada naiknya harga pelayanan kesehatan di rumah sakit. "Padahal kami tidak mungkin menaikkan harga kamar karena pasien akan lari. Karena itu ratusan rumah sakit kecil di Indonesia sekarang ini membentuk jaringan dan saling belajar agar surv ive," kata Suprijanto Rijadi yang juga Ketua Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia.

Menurut Adang Bachtiar, Menteri Kesehatan di masa depan haruslah memiliki kemampuan kesehatan yang komprehensif mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif da n rehabilitatif dan mampu memfasilitasi kebutuhan kesehatan mereka yang sehat sebanyak 85 persen dan mereka yang sakit 15 persen, baik pada pelayanan dasar ataupun pelayanan rujukan.

"Menkes harus mampu menata sistem pelayanan kesehatan dan sistem pembiayaan kesehatan," kata Adang Bachtiar.

Rabu, 06 Mei 2009

Salurkan Askeskin ke Rumah Sakit

KOMPAS, 18 Februari 2008 |
Sistem pengelolaan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) yang ditangani PT Askes dinilai buruk dan PT Askes diragukan apakah mampu memperbaiki pola pelayanan. Karena itu sebaiknya Depkes tidak perlu memperbarui kontrak pengelolaan Askeskin dengan PT Askes.

Demikian dikemukakan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah H Kasmir Triputra di Jakarta, Senin (18/2).

Sebaiknya ide Menkes untuk mentransfer dana Askeskin langsung ke rekening rumah sakit bisa direalisasikan dan justru akan lebih baik bila dana Askeskin tersebut diserahkan dan dikelola langsung oleh pemerintah daerah.

Jika dana Askeskin bersama anggaran Jamkesos yang tersedia di APBN telah lebih dahulu ditransfer dan dikelola oleh pemerintah daerah, ditambah dengan alokasi APBD untuk bidang kesehatan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah bisa diprogramkan untuk Askeskin, baik dengan pola langsung maupun pola asuransi sehingga pemerintah daerah bisa membuat kebijakan untuk memberlakukan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga (termasuk RS swasta) tanpa ada persyaratan yang menyulitkan seperti harus memiliki kartu miskin dan surat keterangan.

Efek positifnya adalah dengan pengelolaan Askeskin langsung oleh rumah sakit maka pelayanan kesehatan sepenuhnya sudah menjadi urusan pemerintah daerah dan bukan lagi tanggung jawab pemerintah pusat. Hal ini akan menjadi titik awal yang baik bagi penerapan otonomi daerah dan mengubah pola pikir birokrasi yang selalu sentralistik.

Mekanisme dan keterlambatan Askeskin selama ini telah memperburuk pelayanan dan citra rumah sakit.

Fakta selama ini membuktikan desain kebijakan untuk rakyat miskin acapkali tidak diikuti dengan penataan mekanisme dan penyesuaian kondisi yang terjadi di lapangan. Artinya, kebijakan yang diambil pemerintah dalam hal Askeskin sering tidak berpihak pada kebutuhan rumah sakit.

”Penyaluran Askeskin ke rumah sakit akan memperkuat daya dukung dan kecepatan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,” ujar Kasmir Triputra.

Pengelolaan dana Askeskin oleh pemerintah daerah akan memperkuat fiskal daerah. Mekanisme penyalurannya pun dapat diubah dengan diberlakukannya kontrak langsung antara perusahaan asuransi dan pemerintah daerah di bawah pengawasan Depkes.

Minggu, 03 Mei 2009

Rumah Sakit Pun Sumber Penyakit!

Kompas, 24 April 2009 |
Kepala Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Farmasi, Dinas Kesehatan Garut, Wowo Karsono, mengimbau, di Garut, Jumat, agar warganya mewaspadai bahaya "nosokomial" berupa penyakit yang bersumber dari rumah sakit.

Rumah sakit-pun merupakan sumber dari berbagai jenis penyakit, sehingga kerap diingatkan agar anggota masyarakat tidak membesuk pasien yang tengah dirawat inap dengan membawa anak kecil, karena kondisi bakteri yang berterbangan di lingkungan rumah sakit sangat membahayakan orang sehat.

Namun kenyataannya, banyak masyarakat yang berdatangan bersama keluarganya membesuk, termasuk membawa anak balita ketika membesuk pasien, bahkan mereka ikut menginap dengan menggelar tikar di lantai rumah sakit.

Idealnya, para pembesuk, terutama yang tempat tinggalnya jauh sebaiknya tidur di penginapan, sedangkan kegiatannya membesuk pasien bisa dilakukan hanya pada waktu tertentu sesuai dengan yang dijadwalkan pihak rumah sakit.

Diingatkannya, kualitas bakteri di rumah sakit lebih ganas dibanding yang umum karena sebelumnya telah berkompetisi secara alami dengan bakteri lainnya, sehingga memiliki keunggulan dan berhasil hidup mengalahkan bakteri lain.

Oleh sebab itu, proses pengobatan atau penyembuhan penderita penyakit nosokomial, tidak bisa dilakukan seperti pasien biasa, melainkan memerlukan proses perawatan khusus, ungkap Wowo.

Karena itu, para dokter, perawat serta bidan maupun para medis yang bertugas di rumah sakit tergolong kalangan komunitas yang sangat rawan tertular penyakit.

Itulah sebabnya, mereka sering menjalani pemeriksaan umum atau "general check up", dengan jaminan kesejahteraannya lebih tinggi dibandingkan pekerja di kantor yang tidak beresiko tertular penyakit, katanya.

Selasa, 21 April 2009

Pembangunan RS Bantuan Indonesia di Gaza, Dapat Lampu Hijau

Eramuslim, Rabu, 28/01/2009 14:15

Rencana pembangunan rumah sakit publik yang merupakan bentuk partisipasi dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Indonesia di wilayah konflik Gaza sepertinya memperlihatkan titik terang.

"Rumah sakit yang direncanakan, sebagai hasil kunjungan Depkes yang pertama itu satu sumbangan dari masyarakat Indonesia kepada masyarakat Palestina bisa segera dioperasionalkan menyusul ada beberapa rumah sakit yang dihancurkan oleh Israel," kata Ketua Bidang Kesehatan dan Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah Dr Natsir Nugroho, di kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (28/1).

Seperti diketahui, serangan yang dilancarkan oleh zionis Israel telah menghancurkan infrastruktur, termasuk rumah sakit, saat ini masih ada beberapa rumah sakit yang beroperasi dengan peralatan dan tenaga kesehatan yang terbatas dan mengandalkan bantuan dari para donatur.

Dengan berkoordinasi dengan Departemen Kesehatan, menurutnya, Muhammadiyah akan menyiapkan konsultan perumahsakitan untuk menyusun rencana pembangunan rumah sakit yang akan dikelola oleh pemerintahan di Palestina.

"Saya sudah mendapat satu informasi katanya ada lampu hijau dari pemerintahan di Gaza, kita tinggal menggabungkan dan kebetulan kami di Muhammadiyah kami punya kosultan perumahsakitan," jelas Natsir.

Bahkan, lanjutnya, berdasarkan informasi terakhir seluas dua hektar tanah yang dialokasikan oleh pemerintah Palestina untuk dibangun rumah sakit.

"Kita tinggal menunggu berita tindak lanjutnya dari Ibu Menkes mengenai rencana Indonesia yang akan membuat rumah sakit di jalur Gaza," imbuhnya. (novel)

Senin, 20 April 2009

RS Bhakti Asih dan Persahabatan Dinilai Langgar Hak Korban Flu Burung

Kompas,4 Februari 2008 - Rumah Sakit Bhakti Asih, Tangerang, dan RS Persahabatan Jakarta dinilai melanggar hak korban salah satu pasien flu burung, Nasrudin. Tindakan-tindakan medis yang dilakukan terhadap korban oleh kedua rumah sakit tersebut, tanpa sepengetahuan keluarga pasien.

Pernyataan itu disampaikan Nober Siregar dari LBH Kesehatan saat mendampingi Muhidin, keluarga korban flu burung. Keduanya mendatangi Polda Metro Jaya, Senin (5/2), guna melaporkan dugaan kelalaian yang dilakukan kedua rumah sakit.

"Dokter memang harus menjalani kewajibannya. Tetapi mereka juga harus tahu hak pasiennya. Saat melakukan tindakan medis terhadap korban (Nasrudin), pihak keluarga tidak pernah tahu," kata Nober.

Selama berada di RS Bhakti Asih, misalnya, semua hasil tes laboratorium dan tes rontgen terhadap korban tidak pernah disampaikan kepada keluarga. Kelalaian yang lain, jelas Nober, saat pasien didiagnosa menderita demam berdarah (DB), korban tidak pernah diberi transfusi darah.

Kejadian serupa juda dialami korban, saat dirujuk ke RS Persahabatan Jakarta. Semua tindakan medis seperti penyedotan cairan dari paru-paru dan lambung korban, tanpa sepengetahuan keluarga korban. Padahal itu membutuhkan tindakan operasi.

Selain itu, sebelum korban menemui ajalnya pada 28 Januari 2008, pihak rumah sakit meminta keluarga korban untuk melakukan sesuatu yang dianggap aneh oleh Nober. Pihak keluarga saat itu diminta mempersiapkan pendonor darah berjumlah sepuluh orang dengan berat badan 70 kilogram. Selain itu, kebutuhan darah, lanjut Nober, sebenarnya bisa diperoleh lewat Palang Merah Indonesia (PMI).

Selasa, 07 April 2009

Tanggulangi Bencana, RS Harus Siapkan SDM

Selasa, 7 April 2009 | 21:52 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Rumah sakit mesti menyiapkan sumber daya manusia dan sarana pendukung yang dibutuhkan untuk penanganan bencana.

Salah satu sarana yang sangat dibutuhkan untuk mendukung penanganan masalah kegawatdaruratan bencana adalah ambulans yang bisa bergerak cepat.

"Dari 100 pasien gawat darurat, 50 persen di antaranya meninggal dunia dalam 10 menit karena itu harus tersedia cukup ambulans yang bisa tiba di lokasi dalam waktu 10 menit setelah kejadian," kata Ketua Yayasan Ambulans 118 Prof Aryono D Pusponegoro di sela seminar tentang peran fasilitas kesehatan dalam kondisi gawat darurat bencana di Jakarta, Selasa.

Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Adib Yahya sependapat dengan Prof Aryono soal pentingnya rencana kesiapsiagaan bencana di rumah sakit.

Ia mengatakan, pihaknya bersama dengan Departemen Kesehatan dan Ikatan Ahli Bedah Indonesia sudah membuat panduan penyusunan rencana kesiapsiagaan bencana rumah sakit.

"Sudah selesai dibuat, tinggal menunggu aturan dari departemen agar bisa diterapkan," katanya.

Ia menjelaskan pula bahwa rencana kesiapsiagaan menghadapi bencana sudah masuk dalam daftar penilaian akreditasi rumah sakit sehingga rumah sakit-rumah sakit yang sudah terakreditasi otomatis sudah memiliki rencana kesiapsiagaan menghadapi bencana. "Sebenarnya tiap rumah sakit sudah punya, cuma belum terarah saja," demikian Adib Yahya.

Minggu, 05 April 2009

Salurkan Askeskin ke Rumah Sakit

Kompas, 18 Pebruari 2009 - Sistem pengelolaan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) yang ditangani PT Askes dinilai buruk dan PT Askes diragukan apakah mampu memperbaiki pola pelayanan. Karena itu sebaiknya Depkes tidak perlu memperbarui kontrak pengelolaan Askeskin dengan PT Askes.

Demikian dikemukakan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah H Kasmir Triputra di Jakarta, Senin (18/2).

Sebaiknya ide Menkes untuk mentransfer dana Askeskin langsung ke rekening rumah sakit bisa direalisasikan dan justru akan lebih baik bila dana Askeskin tersebut diserahkan dan dikelola langsung oleh pemerintah daerah.

Jika dana Askeskin bersama anggaran Jamkesos yang tersedia di APBN telah lebih dahulu ditransfer dan dikelola oleh pemerintah daerah, ditambah dengan alokasi APBD untuk bidang kesehatan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah bisa diprogramkan untuk Askeskin, baik dengan pola langsung maupun pola asuransi sehingga pemerintah daerah bisa membuat kebijakan untuk memberlakukan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga (termasuk RS swasta) tanpa ada persyaratan yang menyulitkan seperti harus memiliki kartu miskin dan surat keterangan.

Efek positifnya adalah dengan pengelolaan Askeskin langsung oleh rumah sakit maka pelayanan kesehatan sepenuhnya sudah menjadi urusan pemerintah daerah dan bukan lagi tanggung jawab pemerintah pusat. Hal ini akan menjadi titik awal yang baik bagi penerapan otonomi daerah dan mengubah pola pikir birokrasi yang selalu sentralistik.

Mekanisme dan keterlambatan Askeskin selama ini telah memperburuk pelayanan dan citra rumah sakit.

Fakta selama ini membuktikan desain kebijakan untuk rakyat miskin acapkali tidak diikuti dengan penataan mekanisme dan penyesuaian kondisi yang terjadi di lapangan. Artinya, kebijakan yang diambil pemerintah dalam hal Askeskin sering tidak berpihak pada kebutuhan rumah sakit.

”Penyaluran Askeskin ke rumah sakit akan memperkuat daya dukung dan kecepatan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,” ujar Kasmir Triputra.

Pengelolaan dana Askeskin oleh pemerintah daerah akan memperkuat fiskal daerah. Mekanisme penyalurannya pun dapat diubah dengan diberlakukannya kontrak langsung antara perusahaan asuransi dan pemerintah daerah di bawah pengawasan Depkes.

Senin, 30 Maret 2009

46% RS Jepang Minati Perawat Indonesia

INILAH.COM, Tokyo - Hampir separuh rumah sakit besar di Jepang menginginkan tenaga perawat asing dari Indonesia dan Filipina, sesuai kesepakatan yang telah dibuat oleh Jepang dan dua negara anggota ASEAN itu. Namun sebagian besar rumah sakit itu keberatan jika diminta melakukan pelatihan sesuai standar Jepang.

Demikian hasil survei terbaru yang dilakukan tim riset dari Asia Center Universitas Kyushu, Fukuoka, berkaitan dengan ditandatanganinya perjanjian EPA (economic partnership agreement) antara Jepang dengan Indonesia dan Filipina, sebagaimana dikutip Asahi Shimbun di Tokyo, Selasa.

Pelatihan berstandar Jepang sangat penting karena masyarakatnya menuntut tenaga-tenaga terampil itu berlisensi Jepang yang berarti sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Selain itu, Jepang juga menghadapi persoalan bertambahnya kelompok masyarakat usia lanjut, dibanding kelompok usia produktifnya, sehingga membutuhkan tenaga trampil yang bisa merawat kelompok jompo itu.

Sebanyak 1.000 tenaga perawat dan semi perawat asal Indonesia diharapkan sudah bisa diterima di Negeri Sakura pada pertengahan 2008.

Menurut survei, 46% rumah sakit-rumah sakit besar di Jepang menginginkan tenaga perawat non-Jepang. Sebanyak 21,5% menginginkan prosedur rekrutmen yang sama baik untuk perawat asing maupun perawat Jepang, sedangkan 24,7% lainnya justru ingin melakukan penerimaan tersendiri bagi perawat non-Jepang itu.

Penelitian yang diumumkan Senin (10/3) lalu itu juga menyebutkan, sebanyak 62% tidak bersedia atau menolak menerima memberikan pendidikan dan pelatihan agar sesuai standar yang telah ditentukan. Sisanya 38% justru setuju menyediakan fasilitas pelatihan.

Menanggapi keenganan pihak rumah sakit dalam menyediakan pelatihan, Ketua Tim Riset Profesor Yoshichika Kawaguchi mengatakan, hal itu terjadi karena kurang lengkapnya informasi mengenai sistem penerimaan itu sendiri.

"Pemerintah harus memberikan informasi yang serinci mungkin dan sesegera mungkin, serta melakukannya secara aktif," kata Kawaguchi.

Sebanyak 400 tenaga perawat akan bekerja di rumah sakit Jepang, sisanya 600 tenaga semi perawat akan bekerja merawat para orang tua jompo Jepang.

Sedikitnya 1.600 rumah sakit besar di Jepang menjadi responden dalam penelitian yang digelar sejak Januari hingga Februari 2008, dan sebanyak 522 di antaranya telah memberikan respons.

Alasan lainnya yang cukup menarik untuk disampaikan, demikian survey, bahwa perawat asing itu juga ikut memberikan andil dalam mempromosikan kegiatan pertukaran internasional, yang bertujuan membangun peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.

Berdasarkan perjanjian kerjasama EPA yang dilakukan Jepang dengan Indonesia dan Filipina, Negeri Sakura itu bersedia menerima tenaga perawat asing. Namun sebelumnya harus mengikuti kursus bahasa Jepang selama enam bulan dan baru kemudian diperkenankan bekerja di rumah sakit Jepang.

Para perawat itu nantinya akan mengikuti ujian nasional sebelum menerima lisensi keperawatan. Persyaratan yang sama juga dikenakan bagi perawat Jepang. Jika lulus tes, maka barulah mereka diperkenankan tinggal dan bekerja di Jepang minimum selama dua tahun. [*/L1]

Selasa, 24 Maret 2009

Institut Manajemen Rumah Sakit (IMRS) Lahir

Akhirnya Institut Manajemen Rumah Sakit PERSI yang beberapa bulan lalu masih menjadi embrio sekarang sudah bermetamorfosa menjadi janin, yang siap di lahirkan secara resmi pada saat Hospital Expo berlangsung ( November 2006) di Jakarta Convention Center ( JCC).

Lega rasanya..jerih payah selama hampir 3 bulan ini akhirnya membuahkan hasil. Lahirnya IMRS PERSI ini tidak terlepas dari peranan Riri Satria sebagai nara sumber dan advisor dari Okta Education Center yang banyak mencentuskan ide-ide brilian seputar program dan mekanisme kerja IMRS. Selain itu ada dr Robert IS, dr Soebaryo, dan dr Boediarso sebagai pimpinan Okta Education Center dan Pembina PERSI yang banyak memberikan dorongan moril dan materil demi terwujudnya IMRS.

IMRS sesungguhnya LP3 dari PERSI yang keberadaannya belum dirasakan secara maksimal selama ini., Diharapkan dengan hadirnya IMRS, peranan PERSI sebagai pusat pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi dapat semakin nyata dan berperan dalam perumahsakitan di Indonesia. Dalam surat sambutannya Dr Adib Yahya, MARS sebagai ketua PERSI saat ini menegaskan bahwa keberadaan IMRS bertujuan untuk memberikan layanan pendidikan dan pelatihan manajemen RS kepada berbagai pihak yang membutuhkan sebagai respons menghadapi perkembangan globalisasi. manajemen rumah sakit menjadi kata kunci yang penting. Rumah sakit sudah sejatinya dikelola dengan menggunakan berbagai konsep manajemen mutakhir. Dengan demikian, kompetensi mengenai manajemen, yang secara klasik dianggap di luar rumpun ilmu-ilmu kedokteran, sekarang sudah sangat dibutuhkan dan tidak lagi dapat dipisahkan dengan praktik keseharian pengelolaan rumah sakit.b

VISI 2010
Institut Manajemen Rumah Sakit PERSI menjadi pusat rujukan utama pendidikan, pelatihan dan konsultansi manajemen rumah sakit yang praktikal di Indonesia.

MISI
Institut Manajemen Rumah Sakit PERSI memberikan jasa layanan pendidikan, pelatihan, dan konsultansi manajemen rumah sakit yang praktikal dan tepat guna di Indonesia.

JASA LAYANAN IMRS

1. Pendidikan singkat (1-2 minggu) di bidang manajemen rumah sakit yang terintegrasi dan praktikal.
2. Pelatihan topik-topik khusus dalam manajemen rumah sakit (2 hari) untuk publik, mulai dari topik manajemen dasar sampai lanjutan. Silakan lihat daftar topik dan jadwal kami.
3. Pelatihan pesanan khusus (inhouse training) yang kami rancang khusus sesuai dengan kebutuhan Anda. Pelatihan ini akan didahului dengan training needs analysis oleh konsultan kami.

IMRS berkomitmen untuk menjaga mutu pendidikan dan pelatihan yang diberikan dalam bentuk metode yang tidak hanya dengan cara mendengarkan ceramah semata (one-way lecturing), melainkan berbentuk workshop di mana peserta berlatih berhadapan dengan berbagai kasus dan persoalan manajemen untuk dipecahkan bersama dalam bentuk diskusi kelompok, simulasi, dan sebagainya. Pemandu atau fasilitator pendidikan dan pelatihan kami merupakan gabungan antara pakar rumah sakit dengan latar belakang profesi kedokteran dan kesehatan lainnya, serta pakar manajemen dengan latar belakang profesi ekonomi, manajemen, dan akuntansi. Kombinasi ini akan menghasilkan sinergi yang unik dan bernilai tinggi.Topik dan materi yang kami berikan tidak sarat dengan muatan teori yang susah untuk dipahami, melainkan lebih menekankan kepada aspek praktikal terhadap kebutuhan manajemen rumah sakit sehari-hari di Indonesia.

1. Manajemen stratejik untuk rumah sakit.

2. Balanced scorecard untuk rumah sakit.

3. Service excellent untuk rumah sakit.

4. Manajemen pemasaran rumah sakit.

5. Manajemen SDM rumah sakit.

6. Sistem akuntansi untuk rumah sakit.

7. Manajemen kehumasan rumah sakit.

8. Analisis laporan keuangan.

9. Manajemen inventori dan logistik rumah sakit.

10. Leadership.

11. Etika dan aspek hukum di rumah sakit.

12. E-Hospital management dan sistem informasi.

13. Manajemen administrasi dan kearsipan rumah sakit.

14. Manajemen Keperawatan.

15. Manajemen Ruang Rawat

16. Training of the Trainers untuk Pelayanan Prima.

17. Membangun Budaya Organisasi Rumah Sakit

Bagaimana dengan ketersedian fasilitator ? IMRS memiliki Fasilitator yang handal dan memiliki kompetensi yang tidak diragukan lagi di bidangnya. Fasitator IMRS diantaranya adalah: Prof Achiryani Hamid, DNSc., Prof Elly Nurahmah, PhD, DR Rokiah Kusumapradja, MHA, DR Faiq Bahfen, SH, MH., Dr. Adib A. Yahya, MARS., Dr. Samsi Jacobalis, SpB., Sumiyatun, SKp, MARS, Kemala Rita, SKp, MARS, Rita Sekarsari, SKp, MHNH, Dr. Robert Imam Suteja., Ir. Alvin Soleh , Dr. Nico A. Lumenta, MM., Dr. A. W. Budiarso, SKM, MBA., DR. Dr. Ingerani, SKM., Riri Satria, S.Kom, MM, ACP., Idrianita Anis, SE, Ak, M.Kom., Jonathan Sofian Lusa,SE, Ir. Emanuel Setio Dewo,MM., dan Prasetiya Brata,SE,MM

Terima kasih untuk semua pihak yang membantu untuk terwujudnya IMRS. Semoga IMRS dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk kemajuan perumahsakitan di Indonesia.

BRAVO..IMRS

Jumat, 13 Maret 2009

Perlu Ada Rumah Sakit Khusus AIDS

Kompas, 11 Februari 2009, Medan — Komisi Perlindungan AIDS (KPA) Sumut mengusulkan membuat rumah sakit peduli AIDS demi mengurangi stigma (pandangan negatif) terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di rumah sakit swasta.

Sekretaris KPA Sumut, Achmad Ramadhan, di Medan, Selasa, mengatakan, dewasa ini di berbagai daerah, dokter yang peduli AIDS sudah ada. Namun, rumah sakit yang peduli AIDS belum ada.

"Dengan adanya rumah sakit peduli AIDS maka stigma terhadap pelayanan pasien HIV/AIDS dapat diminimalisir karena stigma rumah sakit swasta khususnya dalam melayani pasien HIV/AIDS masih cukup tinggi tanpa alasan yang jelas," katanya.

Ia mengatakan, pihaknya telah berupaya meniadakan stigma tersebut dengan menggelar berbagai kegiatan penatalaksanaan pasien HIV/AIDS beberapa waktu lalu.

Namun, sebagian besar rumah sakit swasta tidak merespons dengan baik. Pihaknya juga telah berupaya melakukan pendekatan kepada rumah sakit untuk mencari alasan apa yang menyebabkan mereka kurang peduli melayani pasien HIV/AIDS.

"Namun, jawaban yang kita terima dari pihak rumah sakit sungguh tidak memuaskan," katanya.

Di sisi lain, kata dia, pihaknya juga terus berupaya meningkatkan koordinasi dengan sejumlah lembaga peduli AIDS di Sumut, termasuk akan memberikan pelatihan konselor Voluntary Conseling and Testing (VCT) di tujuh kabupaten/kota yang dibuat Dinas Kesehatan Sumut.

Kamis, 12 Maret 2009

RS Kelas Dunia akan Bendung Arus Pasien ke Luar Negeri

Kompas, 22 September 2008 | Pembangunan fasilitas pelayanan rumah sakit kelas dunia di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) diharapkan dapat menekan jumlah pasien dalam negeri yang selama ini memilih berobat luar negeri. Fasilitas pelayanan bertaraf dunia di RSCM diyakini tidak akan kalah dengan rumah sakit lain di luar negeri.

"Ini kualitas pelayanannya akan sama bagusnya dengan rumah sakit luar negeri. Harapannya, ini dapat mengurangi aliran orang Indonesia yang berobat ke luar negeri," ungkap Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, seperti dikutip Antara, usai pemancangan tiang pertama pembangunan Gedung International Wing di RSCM Jakarta, Senin (22/9).

Menkes menekankan, meski rumah sakit RSCM memiliki fasilitas kelas dunia, tetapi pasien yang diprioritaskan untuk mendapat pelayanan adalah masyarakat di dalam negeri.

"Kita bikin ini bukan untuk menarik pasien dari luar negeri, tapi lebih untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat," ungkap Menkes.

Sementara itu Direktur Utama RSCM, Prof. Akmal Taher Sp.U(K) menambahkan dengan hadirnya layanan kelas dunia di Gedung Sayap International (international wing), RSCM dituntut meningkatkan kualitas dan mampu melayani berbagai kasus yang sulit dan kompleks.

"Sebenarnya inilah salah satu pengertian yang paling mendasar dari suatu rumah sakit kelas dunia, yaitu kemampaun untuk menanggulangi kasus-kasus yang sulit dengan keberhasilan yang tinggi," ujarnya.

Ia menjelaskan, peningkatan status sebagai rumah sakit kelas dunia juga menuntut perubahan budaya menuju pelayanan yang lebih baik, baik dokter perawat maupun tenaga non-medik.
"Jelasnya, pembangunan gedung yang baik tentu merupakan hal penting, tetapi tanpa perubahan budaya layanan, maka hal itu akan jadi sia-sia," ungkapnya.

Akmal berjanji tidak akan ada perbedaan kualitas pelayanan baik di gedung layanan untuk publik (Public Wing) dengan gedung sayap internasional (International Wing). "Kalau ada perbedaan lebih pada unsur layanan hotel atau akomodasi," tandas Akmal Taher.

Rabu, 11 Maret 2009

Rumah Sakit Pemerintah Sulit Terapkan Larangan Merokok

Kompas, 17 Februari 2009
Surabaya - Rumah sakit milik pemerintah di Kota Surabaya kesulitan menerapkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Rokok.

"Sepertinya perda itu susah diterapkan di rumah sakit pemerintah. Hampir semua penunggu pasien merokok," kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, dr. Esty Martiana Rachmie, di Surabaya, Selasa.

Berbeda dengan di rumah sakit swasta yang relatif lebih mudah dalam menerapkan perda tersebut. "Harus diakui memang ada perbedaan kultur dan perilaku masyarakat yang datang ke rumah sakit umum dengan rumah sakit swasta," katanya.

Padahal seharusnya rumah sakit menjadi prioritas utama fasilitas umum yang menerapkan perda tersebut. Justru sebaliknya yang lebih dulu menerapkan aturan itu adalah Surabaya Plaza Hotel.

Bahkan manajemen hotel tersebut telah menindak enam tamunya yang kedapatan merokok di dalam area hotel. Lima dari enam tamu tersebut dikenai denda sebesar Rp1 juta.

"Mungkin kalau di rumah sakit umum penerapannya secara persuasif dan bertahap. Tidak bisa dilakukan secara revolusioner," kata Esty saat ditemui di Surabaya Plaza Hotel.

Ia mengharapkan aturan tersebut akan berlaku efektif pada bulan Oktober 2009 bersamaan dengan penerapan aturan itu di kendaraan umum.

"Sebenarnya dalam aturan ini, kami tidak melarang orang untuk merokok. Hanya penekananannya pada pembatasan, sehingga orang merokok tidak di sembarang tempat," katanya meluruskan.

Dalam kesempatan itu Esty menambahkan, penerapan perda tersebut tidak membidik orang per orang, termasuk anggota DPRD Kota Surabaya yang mengesahkan perda itu.

"Kalau sekarang masih banyak anggota DPRD merokok di ruang kerjanya, itu bukan target kami. Karena perda ini bukan diberlakukan pada orang per orang," katanya.

Demikian pula dengan penerapan perda tersebut di kantor Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, menurut dia, akan diberlakukan secara bertahap.

"Nanti semua sarana dan fasilitas umum yang ada di kota ini akan menjadi kawasan terbatas rokok. Jadi, kami tidak akan pandang bulu dalam menerapkan aturan ini," kata Esty.

Rabu, 04 Maret 2009

Sumsel Akan Bangun RS Berstandar Internasional

Kompas, 26 Februari 2009 | PALEMBANG, KAMIS — Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) akan membangun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) berstandar internasional di Kota Palembang, yang memerlukan dana sedikitnya Rp 280 miliar.

Kebutuhan dana itu akan dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumsel secara bertahap hingga 2010, kata Gubernur Sumsel H Alex Noerdin pada paparan rencana pembangunan kedua RS itu di Palembang, Rabu.

Ia menjelaskan, pembangunan dua rumah sakit berstandar internasional itu untuk tahap awal memerlukan dana Rp 140 miliar, yang akan dimulai pada 2009.

Untuk tahap pertama akan disediakan sebanyak 200 tempat tidur bagi pasien rawat inap, sedangkan di RS Jiwa akan tersedia 150 tempat tidur. Pada akhir 2010 rumah sakit itu diharapkan sudah bisa dioperasikan.

Ia mengharapkan rumah sakit itu bisa menjadi rumah sakit rujukan bagi pasien dari kabupaten/kota di provinsi tersebut.

Menurut Gubernur, rumah sakit itu akan menyediakan fasilitas kesehatan bagi pasien dari keluarga miskin dengan layanan gratis yang sama dengan pasien biasa, untuk menghilangkan kesan yang ada selama ini bahwa layanan pengobatan gratis untuk warga miskin dibedakan dari pasien yang membayar.

"Pembangunan kedua rumah sakit tersebut juga diiringi dengan kesiapan sumber daya pengelola, dan bila perlu para perawat akan dikirim ke rumah sakit di luar negeri untuk magang selama beberapa bulan, sehingga ketika rumah sakit mulai beroperasi mereka sudah siap melayani pasien," katanya.

Gubernur mengharapkan, keberadaan rumah sakit bertaraf internasional bisa menjadi rumah sakit sehat dan nyaman serta dapat digunakan oleh masyarakat dari semua golongan dengan pelayanan kesehatan yang lebih baik.

"Di samping itu juga dapat dijadikan sebagai rumah sakit pendidikan, dan untuk mencetak kader dokter profesional dengan memanfaatkan fasilitas yang ada dan memadai sehingga di masa mendatang kita tidak perlu berobat jauh-jauh ke luar negeri, karena fasilitas dan pelayanan di kedua rumah sakit tersebut sama dengan rumah sakit di luar negeri," katanya.

Selasa, 24 Februari 2009

DOKTER SPESIALIS UNTUK DOKTER PUSKESMAS

Kompas, 3 Januari 2009
PALEMBANG, SABTU - Direktur Bina Pelayanan Spesialistik Departemen Kesehatan, Dr Kemas M Akib Rahmad minta pemerintah daerah (pemda) aktif mengusulkan dokter puskesmas untuk dididik menjadi dokter spesialis yang difasilitasi pemerintah pusat.

"Setiap tahun Departemen Kesehatan memfasilitasi dokter umum untuk melanjutkan pendidikan spesialis pada setiap fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan di Indonesia, tetapi partisipasi pemda mengirimkan usulan masih minim," katanya di Palembang, Sabtu.

Usai membuka Rapat Kerja dan Seminar Nasional Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI), ia menjelaskan hampir sebagian daerah masih kekurangan dokter spesialis, karena itu diharapkan pemda lebih aktif mengusulkan pendidikan spesialis untuk dokter terutama yang bertugas di puskesmas dan rumah sakit daerah.

Kalau pemda tidak aktif mengusulkan tenaga dokter di daerah untuk dididik menjadi dokter spesialis, bagaimana mungkin memenuhi kebutuhan layanan spesialis pada masyarakat karena setiap rumah sakit tipe C dan D minimal memiliki empat dokter spesialis.

Ia mengatakan, sampai kini masih banyak rumah sakit daerah yang belum mencukupi kebutuhan minimal empat tenaga spesialis, yakni spesialis anak, kebidanan dan kandungan, bedah serta penyakit dalam.

"Empat dokter spesialis tersebut meski menjadi syarat berdirinya rumah sakit daerah, namun sampai kini lebih dari 50 persen rumah sakit kelas C dan D belum memenuhi ketentuan tersebut," katanya.

Departemen Kesehatan sendiri sejak 2008 telah mendidik 260 dokter umum untuk dididik menjadi dokter spesialis yang diusulkan daerah.

Pada 2009 ini Departemen Kesehatan siap memfasilitasi pendidikan spesialis terhadap 500 dokter umum yang diusulkan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.

Pendidikan spesialias tersebut dikhususkan untuk dokter di puskesmas dan rumah sakit daerah. Setelah selesai pendidikan mereka pun diminta kembali bekerja di tempat asal sesuai dengan usulan pemda.

Khusus untuk pengajuan pendidikan spesialis yang diusulkan Pemda Sumatera Selatan (Sumsel) dan sejumlah kabupaten/kota di provinsi ini pada 2008 masih sangat minim.

"Sedangkan Pemprov Sulawesi Selatan (Sulsel) menjadi daerah yang paling banyak mengusulkan dokter puskesmas atau rumah sakit untuk dididik menjadi dokter spesialis," katanya.

Minggu, 22 Februari 2009

Banyak RS Dikelola Secara Tradisional

Kompas, 21 Pebruari 2008.
MEDAN, KAMIS - Banyak rumah sakit di Indonesia yang masih dikelola secara tradisional hingga berakibat pada kurang puasnya pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Sutomo Kasiman mengatakan hal tersebut di Medan, Kamis (21/2). Menurutnya, hingga kini masyarakat masih beranggapan bahwa produk impor barang dan jasa yang dikelola pihak asing lebih baik mutunya dari produk dalam negeri.

Sebagian masyarakat yang memiliki uang lebih atau ketika penyakitnya tergolong serius lebih memilih untuk berobat ke rumah sakit di negara tetangga atau pun negara lainnya.

"Ini tentunya menjadi pertanyaan bagi kita dan juga merupakan tantangan yang harus dihadapi secara bersama oleh pengelola rumah sakit maupun pemerintah," katanya seperti dikutip ANTARA.

Untuk itu kata dia, peningkatan kualitas mutu merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi rumah sakit berupa pelayanan, kualitas tim medis maupun ketersediaan alat-alat medis.

"Ini tentunya menuntut komitmen yang nyata dari semua unsur rumah sakit karena peningkatan mutu dirumah sakit merupakan tujuan utama dari pelayanan kesehatan yakni melindungi pasien, tenaga kesehatan, dan rumah sakit itu sendiri,"katanya.

Selasa, 17 Februari 2009

Kendalikan Infeksi di Rumah Sakit


Kompas, Untuk menjamin keselamatan pasien di rumah sakit, Departemen Kesehatan bekerja sama dengan PT MRK Diagnostic meluncurkan program NICE (No Infection Campaign and Education). Program ini dirancang untuk mengubah perilaku petugas kesehatan di seratus rumah sakit selama Juni 2008 sampai Oktober 2009.
Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Farid W Husain, pada peluncuran program NICE sekaligus seminar yang diikuti sekitar 150 peserta dari Depkes, berbagai rumah sakit dan laboratorium klinik , Rabu (4/6), di Hotel Four Season, Jakarta, menyambut baik program NICE yang bertujuan memberi informasi dan kesadaran bagi semua staf di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lain tentang bahaya dan risiko infeksi yang didapat di RS sekaligus untuk memperoleh data kejadiannya di RS.
Infeksi yang diperoleh saat berada di rumah sakit (Health Care Associat ed Infection atau HAI) merupakan persoalan serius yang menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Meski sejumlah kejadian infeksi nosokomial tidak menyebabkan kematian pasien, namun menyebabkan pasien dirawat lebih lama. Hal ini mengakibatkan pasien harus membayar lebih mahal, ujar Farid.
Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang berisiko mendapat infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Saat ini, infeksi nosokomial di rumah sakit di seluruh dunia lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap.
Sejauh ini, Depkes telah memiliki program patient safety (keselamatan pasien). Salah satu pilar menuju keselamatan pasien adalah revitalisasi program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit (PPI RS). Melalui program ini, diharapkan infeksi nosokomial (infeksi yan g didapat dan atau timbul pada waktu pasien dirawat di rumah sakit), dapat ditekan serendah mungkin. Dengan demikian, masyarakat diharapkan dapat menerima pelayanan kesehatan secara optimal.
Depkes juga memiliki kebijakan nasional dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270 Tahun 2007 mengenai pedoman manajerial PPI di RS dan fasilitas pelayanan kesehatan lain, serta Keputusan Menkes Nomor 381 Tahun 2007 tentang pedoman PPI di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain. Ini menunjukkan komitmen kuat pemerintah untuk memberi layanan bermutu pada masyarakat agar tiap rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain dapat menjalankan program pencegahan dan pengendalian infeksi, katanya. (EVY)

Minggu, 15 Februari 2009

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KRISIS BENCANA RSUD MAJALENGKA

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KRISIS BENCANA RSUD MAJALENGKA
Dr. Dini Azora, Kep. IGD RSUD Majalengka by : owner

I.Latar belakang
Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana alam maupun karena ulah manusia. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya bencana ini adalah kondisi geografis, iklim, geologis dan faktor lain seperti keragaman sosial budaya dan politik.
Secara geografis Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia dan benua Australia serta lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Terdapat 130 gunung api aktif dan lebih 5000 sungai besar dan kecil yang 30 % di antaranya melewati kawasan padat penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir bandang dan tanah longsor pada saat musim penghujan.
Kabupaten Majalengka yang secara geografis rawan terhadap bencana alam karena adanya gunung berapi Ciremai, berbukit dan lembah-lembah sehingga perlu diwaspadai adalah akibat bencana angin yang begitu kencang, banjir bandang, tanah longsor serta bencana lain akibat ulah manusia.
Bencana adalah peristiwa (alam atau karena manusia) yg menimbulkan gangguan kehidupan dan penghidupan manusia serta memerlukan bantuan luar untuk menanggulanganinya dengan menanggalkan prosedur rutin.
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelayanan penanganan krisis kesehatan akibat bencana adalah :
1.Sistim Informasi yang belum berjalan dengan baik.

2.Mekanisme koordinasi belum berfungsi dengan baik.

3.Mobilisasi bantuan dari luar RSUD Majalengka masih terhambat akibat masalah transportasi dan komunikasi.

Beberapa jenis bencana antara lain :
a.Bencana alam (Natural Disaster)
•Gempa, Gunung meletus, Tsunami,
•Banjir, Banjir bandang, Tanah longsor, Angin puyuh dll.

b.Karena ulah manusia (Man-Made Disaster)
Kegagalan teknologi, Kecelakaan massal, Kebakaran hutan dll.

c.Kedaruratan Kompleks
Konflik sosial, Terorisme, dll

II.Manajemen Pelayanan Penanggulangan Krisis Kesehatan
Kejadian bencana selalu menimbulkan krisis kesehatan, maka penanganannya perlu diatur dalam bentuk kebijakan sebagai berikut :
1.Setiap korban akibat bencana perlu mendapatkan pelayanan kesehatan sesegera mungkin secara maksimal dan manusiawi.
2.Prioritas awal selama masa tanggap darurat adalah penanganan gawat darurat medik terhadap korban luka dan identifikasi korban mati disarana kesehatan.
3.Prioritas berikutnya adalah kegiatan pelayanan kesehatan untuk mengurangi resiko munculnya bencana lanjutan.
4.Koordinasi pelaksanaan penanganan krisis kesehatan akibat bencana dilakukan secara berjenjang dan skala prioritas yang melibatkan semua unit kerja mulai dari IGD, Poliklinik, Perawatan dan Pelayanan, Farmasi, Laboratorium, Logistik, dan Komite Medik RSUD Majalengka.
5.Pelaksanaan penanganan krisis kesehatan di RSUD Majalengka dibantu dari berbagai pihak, PMI, PolRes Kabupaten Majalengka, Puskemas terdekat, jajaran Pemerintah Daerah (RT, Lingkungan, RW, Kepala Desa, Camat), Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Radio Amatir, LSM dan masyarakat.
6.Pengaturan distribusi bantuan peralatan medis dan non medis, obat-obatan, stok darah serta bantuan tenaga medis dan paramedis dilaksanakan secara berjenjang.
7.Dalam hal kejadian bencana yang mengakibatkan tidak berjalannya fungsi pelayanan kesehatan di RSUD Majalengka, kendali operasioanl diambil alih secara berjenjang ke tingkat yang lebih tinggi.
8.Informasi pelayanan bencana massal ditangani langsung oleh Direktur RSUD Majalengka.
9.Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi berkala yang perlu diikuti oleh semua pihak yang terlibat dalam pelayanan penanggulangan kesehatan, sekaligus menginformasikan kegiatan masing-masing.

III.Pengorganisasian
Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) di tingkat RSUD Majalengka, dipimpin oleh Direktur yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pelayanan penanggulangan bencana di wilayah Kabupaten Majalengka dengan tetap memperhatikan kebijakan dan arahan teknis Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka.
Tugas dan wewenang Direktur RSUD Kabupaten Majalengka adalah
1.Melaksanakan dan menjabarkan kebijakan, standart dan arahan serta mengkoordinasikan penanganan krisis dan masalah kesehatan lain baik persiapan sebelum menerima pasien, pada saat penanganan, dan recovery penanganan pasien.
2.Berwenang secara aktif mengelola bantuan kesehatan medis dan non medis, serta bantuan SDM dari luar RSUD.
3.Mengeluarkan SK Unit Pelaksana Tehnis di RSUD Kabupaten Majalengka tentang Tim Pelaksana Harian kelompok kerja tetap Penanggulangan Krisis Bencana RSUD Kabupaten Majalengka.

Tugas dari Tim ini adalah:
1)Menerima informasi terjadinya musibah massal/ bencana bidang kesehatan.
2)Melakukan aktifasi POKJATAP dan Tim Penanggulangan Krisis Bencana RSUD Kabupaten yang merupakan bagian dari Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).
3)Analisa data dan menyiapkan rencana operasional Pelayanan Penanggulangan Krisis Bencana.
4)Melaksanakan tanggap darurat awal pelayanan penanggulangan korban musibah massal dan bencana sesuai kewenangan.
5)Monitoring/Updating data dan evaluasi hasil kegiatan pada satuan waktu tertentu.

IV.Mekanisme Pengelolaan bantuan
Bantuan tersebut meliputi obat dan perbekalan kesehatan dan Sumber daya manusia
a.Obat dan Persediaan Darah.
Penyediaan obat dalam situasi bencana merupakan salah satu unsur penunjang yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan pada saat bencana.
Penyediaan dan pendistribusian obat dan persediaan darah dalam penanggulangan bencana pada dasarnya tidak membentuk sarana dan prasarana baru, tetapi menggunakan sarana dan prasarana yang telah tersedia, hanya intensitas pekerjaannya ditingkatkan dengan memberdayakan sumber daya RSUD Majalengka.
Pengaturan dan pendistribusian obat-obatan, dan persediaan darah sebagai berikut :
1)Unit Kerja Farmasi langsung memastikan kecukupan persedian obat-obatan, persedian darah, agar dilaporkan ke Ketua Tim Pelaksana Teknis.
2)Unit Kerja Farmasi RSUD Majalengka menyiapkan obat-obatan dan persediaan darah selama 24 jam untuk melayani korban bencana di RSUD Majalengka.
3)Obat-obatan dan persediaan darah tersedia di RSUD Majalengka dapat langsung dimanfaatkan untuk melayani korban bencana, bila terjadi kekurangan minta tambahan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka dan PMI Kabupaten Majalengka.
4)Unit Kerja Farmasi memberikan Laporan Persediaan obat dan darah secara periodik (pagi, siang, malam) ke Ketua Tim Pelaksana Teknis.
5)Bila persediaan obat di RSUD Majalengka dapat segera meminta ke Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka dan atau Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat dan atau ke DEPKES RI Pusat.
Prinsip dasar dari pengelolaan obat, persediaan darah dan perbekalan kesehatan lainnya pada situasi bencana adalah harus cepat, tepat dan sesuai kebutuhan. Oleh karena itu koordinasi dan pembagian wewenang dan tanggung jawab sangat diperlukan.
b.Sumber Daya manusia
Dalam hal terjadinya bencana perlu melakukan mobilisasi Sumber Daya Manusia kesehatan yang tergabung dalam Tim Penanggulangan Krisis Bencana yaitu :
1)Tim Reaksi Cepat
2)Tim Bantuan Kesehatan.
Sebagai Koordinator Tim adalah Direktur RSUD Kabupaten Majalengka.
1.1Tim Reaksi Cepat
Adalah Tim yang diharapkan segera bergerak dalam waktu 0-24 jam setelah ada informasi kejadian bencana terdiri dari :
1.1.1 Pelayanan Medik
-Dokter umum: 10 orang
-Dokter Sp.Bedah: 2 orang
-Dokter Sp.Anestesi: 1 orang
-Perawat mahir (bedah, gadar): 10 orang
-Tenaga Disaster Victim Identification: 1 orang
-Apoteker/Ass. Apoteker: 5 orang
-Sopir Ambulans: 2 orang
1.1.2Surveillance Epidemiologi/Sanitarian:1 orang
1.1.3Petugas komunikasi:2 orang

1.2Tim Bantuan Kesehatan
Tim ini dibutuhkan setelah Tim Reaksi Cepat bekerja dan di dukung dengan kegiatan mereka dilapangan terdiri dari :
1.Dokter Umum
2.Apoteker dan Asisten Apoteker
3.Perawat (D3/S1 keperawatan)
4.Perawat mahir
5.Bidan (D3 Kebidanan)
6.Sanitarian (D3 Kesling/S1 Kesmas)
7.Ahli Gizi (D3/D4 Kesehatan/S1 Kesmas )
8.Tenaga Surveillance (D3/D4 Kes/S1 Kesmas )
9.Entomolog (D3/D4 Kes/S1 Kesmas/S1 Biologi)

V.Pendayagunaan tenaga mencakup
1.Distribusi
Penanggung jawab dalam pendistribusian SDM kesehatan di RSUD Majalengka adalah Direktur RSUD Majalengka yang akan didistribusikan kepada Dinas Kesehatan.
2. Mobilisasi
Mobilisasi SDM kesehatan dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan SDM kesehatan pada saat dan pasca bencana bila :
•Masalah kesehatan yang timbul akibat bencana tidak dapat diselesaikan oleh daerah tersebut sehingga memerlukan bantuan dari daerah atau regional.
•Masalah kesehatan yang timbul akibat bencana seluruhnya tidak dapat diselesaikan oleh daerah tersebut sehingga memerlukan bantuan dari regional, nasional dan internasional.

VI.Pokok-pokok kegiatan Penanggulangan Bencana
6.1Pra (sebelum terjadi Bencana)
1.Menyusun pedoman, protap dan juklak/juknis di tk Kabupaten.
2.Melakukan analisis risiko
3.Menyusun rencana-rencana penanganan dgn melibatkan instansi terkait, pihak swasta, LSM dan masyarakat
4.Memfasilitasi dan melaksanakan pertemuan koordinasi dan kemitraan lintas program/lintas sektor secara intensif
5.Melaksanakan pengembangan diklat bagi petugas dan masy. (termasuk gladi)
6.Menyusun, mengembangkan sistem informasi dan komunikasi
7.Menyusun, mengembangkan sistem manajemen hingga ke tingkat kelurahan
8.Melakukan pengembangan media penyebarluasan informasi
9.Melakukan sosialisasi dan advokasi upaya penanganan
10.Mendorong terbentuknya unit kerja yang menangani di setiap jenjang administrasi
11.Mendorong terbentuknya Satuan Tugas Kesehatan disetiap jenjang administrasi
12.Mendorong terbentuknya pusat pengendali operasional di tk. Kabupaten
13.Mengadakan dan mensiapsiagakan sumber daya
14.Mengembangkan sistem kewaspadaan dini
15.Menyiapkan pusat-pusat regional penanganan

Saat Terjadi Bencana
1.Menyusun rencana operasi dan melaksanakannya dng melibatkan instansi terkait, pihak swasta, LSM, masy. dan mitra kerja lainnya.
2.Membantu pelaksanaan pencarian dan penyelamatan korban
3.Memobilisasi sumber daya
4.Mengaktifkan pusat pengendali operasional penanganan
5.Melakukan penilaian cepat kesehatan
6.Melakukan pelayanan kesehatan darurat
7.Melakukan pelayanan kesehatan rujukan
8.Melakukan surveilans epidemiologi penyakit potensial wabah dan faktor risiko
9.Monitoring dan evaluasi penanganan tanggap darurat

Pasca Bencana
1.Melaksanakan pemulihan kesehatan masy. dgn melibatkan instansi terkait, pihak swasta, LSM, masyarakat. dan mitra kerja lainnya.
2.Melaksanakan pemulihan fasilitas dan penyediaan tenaga kesehatan dng melibatkan instansi terkait, pihak swasta, LSM, masyarakat dan mitra kerja lain agar dpt berfungsi kembali
3.Memberdayakan masyarakat dlm upaya pemulihan
4.Mengendalikan vektor dan penyakit potensial wabah
5.Melakukan surveilans penyakit potensial wabah dan faktor risiko
6.Memantau kualitas air bersih dan sanitasi
7.Mengendalikan faktor risiko kesehatan
8.Menanggulangi masalah kesehatan jiwa dan psikososial
9.Melakukan analisis dampak kesehatan
10.Melaksanakan pelayanan kesehatan reproduksi
11.Melakukan perbaikan gizi masyarakat
12.Melakukan upaya rehabilitasi medik
13.Melakukan upaya rekonstruksi sumber daya kesehatan
14.Monitoring dan evaluasi

Penutup
Sampai saat ini bencana tidak seorangpun yang dapat menduga, oleh karena itu kewaspadaan dan kesiapan menghadapi bencana itu perlu terus menerus di tingkatkan. Keterlibatan seluruh komponen masyarakat sangatlah penting untuk meminimalisasi dampak dari bencana tersebut.
Kecepatan dan ketepatan penanganan dibutuhkan pada saat bencana, sehingga koordinasi,pembagian tugas dan tanggung jawab dari semua unsure yang terlibat menjadi penting.

Sabtu, 14 Februari 2009

Green Hospital, Rumah Sakit Berwawasan Lingkungan


Kompas, 4 November 2008 | 19:23 WIB
JAKARTA, SELASA - Tuntutan kebutuhan pelayanan dari pelanggan rumahsakit telah bergeser ke arah pelayanan paripurna dengan berbasis kenyamanan dan keamanan lingkungan rumahsakit. Oleh karena itu, rumahsakit hendaknya mampu memberi perlindungan dan kenyamanan bagi pasien dan pengunjung lainnya untuk memenuhi unsur kenyamanan ekologis sebagai pertimbangan pasien dalam pemilihan rumah sakit.

Kebijakan Green Hospital merupakan jawaban pergeseran tuntutan kebutuhan mutu pelayanan RS bagi masyarakat. Sayangnya, kebijakan itu belum banyak diterapkan di Indonesia. Investor rumahsakit di perkotaan khususnya pada umumnya memiliki keterbatasan lahan fisik, sehingga rumahsakit dibangun dengan kecenderungan mengabaikan unsur lingkungan hijau dengan hanya mengkonsentrasikan pemanfaatan penggunaan lahan untuk bangunan secara maksimal.
Menurut Direktur Utama RS Persahabatan dr Agung P Sutioso, dalam siaran pers, Selasa (4/11), di Jakarta, hadirnya kebijakan Green Hospital bagi RS persahabatan akan menjadi ciri khas sekaligus model pembangunan berkelanjutan untuk industri rumahsakit bahwa mengelola RS tidak terjebak pada orientasi bisnis semata. Kebijakan itu diharapkan akan memberi kontribusi bagi peningkatan kualitas udara di dalam rumahsakit khususnya dan di wilayah Jakarta Timur pada umumnya.
Terkait hal itu, lahan Rumah Sakit Persahabatan seluas 134.521 meter persegi saat ini telah dimanfaatkan untuk ruang terbuka seluas 96.717 meter persegi (71,89 persen), dan sisanya untuk bangunan. Akan tetapi, pemanfaatan penataan bangunan itu dinilai belum memenuhi kaidah perencanaan induk yang mengakomodir berbagai fungsi program dan fungsi kegiatan RS yang efisien. "Kami akan menambah ruang terbuka hijau menjadi sebesar 85,88 persen," kata Agung.
Implementasi kebijakan green hospital untuk meningkatkan mutu pelayanan di RS Persahabatan itu memakai pendekatan appreciative inquiry (AI) yang diikuti seluruh direksi, pejabat struktural, dan pejabat fungsional RS itu. Ada beberapa langkah pendekatan AI yaitu mencari kondisi unik dan keunggulan yang dimiliki, lalu peserta ditantang untuk menemukan bentuk masa depan bernilai berdasarkan sejarah, menciptakan strategi dan merancang arsitektur sosial, dan tahap di mana semua proses pembelajaran, improvisasi serta adaptasi terjadi.
Selain memfokuskan diri pada penataan ruang terbuka hijau, implementasi green hospital juga memperhatikan efek samping rumah samping yaitu limbah cair, padat dan gas. Menurut Agung, limbah merupakan parameter utama dalam menentukan RS dengan citra ramah lingkungan. Untuk mewujudkan hal itu, saat ini RS Persahabatan telah dilengkapi fasilitas pengolahan limbah yaitu berupa instalasi pengolahan air limbah dengan sistem biologi.
Fasilitas pengolah limbah lain adalah mesin incinerator sebanyak dua unit dengan kapasitas 100 kilogram per jam pembakaran. Alat ini digunakan untuk memusnahkan sampah bahan beracun berbahaya atau B3 yang dikenal dengan sampah medis. Selain itu, ada laboratorium lingkungan yang berfungsi memantau kualitas lingkungan. "Kami juga membuat 1.000 biopori yang berfungsi sebagai resapan air hujan dan pengolahan limbah organik jadi pupuk kompos," kata Agung.

Kamis, 05 Februari 2009

RUMAH SAKIT MODEREN SEMESTINYA BERBASIS ASURANSI

Kamis, 13 November 2008 | 17:05 WIB

JAKARTA, KAMIS - Rumah sakit yang tidak berorientasi pada pelayanan masyarakat bukan termasuk kriteria rumah sakit modern, kata Deputi Manajer Bidang Keuangan dan Akuntansi FKUI, DR.dr.H. Boy Subirosa Sabarguna MARS, di Jakarta, Kamis.

Indonesia memiliki bermacam-macam rumahsakit, seperti rumah sakit bertaraf internasional dan nasional, kata Subirosa, seraya menambahkan ada rumahsakit nasional yang sudah maju dan ada pula yang belum di samping rumah sakit-rumah sakit daerah yang dikembangkan.

"Yang harus diusahakan itu rumah sakit klasik yang beralih ke rumah sakit moderen. Karena itu tuntutan global," kata Boy.

Boy melanjutkan, ciri rumah sakit klasik itu memiliki struktur organisasi model lama dengan pelayanan yang belum berbasis pada masyarakat, sementara rumah sakit modern adalah rumahsakit yang memandang bahwa rumahsakit membutuhkan pasien bukan sebaliknya."Rumah sakit yang merasa tidak membutuhkan pasien justru yang akan mati," katanya.

Menurut Boy, mulai dari dokter hingga tukang sapu di rumahsakit moderen memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga kalau masih ada rumah sakit yang membiarkan pasiennya di ruangan gawat darurat tanpa melakukan tindakan sesegera mungkin maka rumahsakit itu bisa dimasukkan ke dalam kategori rumahsakit dengan tatanan operasional klasik.

Demikian halnya dengan rumah sakit yang tidak memberi tempat pada orang-orang miskin termasuk kategori rumahsakit klasik, tambahnya.

"Rakyat miskin kesehataannya dijamin askeskin. Harusnya rumah sakit menerima pasies askeskin. Selain itu seharusnya rumah sakit tidak menilai pasien dari ekonominya. Apalagi dalam keadaan darurat," jelas Boy.

Boy juga menilai masyarakat miskin sudah bisa menempatkan posisinya dalam memilih rumah sakit, jadi tidak mungkin masyarakat miskin mendatangi rumah sakit internasional untuk berobat.

Rumahsakit manapun tidak boleh menolak pasien dalam kondisi gawat darurat saat mereka membutuhkan pertolongan pertama meskipun mereka adalah masyarakat miskin, katanya. Jadi sesungguhnya, menurut Boy, yang dimaksud dengan rumahsakit moderen adalah rumah sakit yang berbasis asuransi.

"Semua pihak harus dididik ke arah asuransi. Orang miskin sekarang sudah punya askeskin. Justru masyarakat golongan menengah yang belum sadar asuransi. Demikian juga sistem asuransi di Indonesia belum mendukung. Kalau semua sudah berbasis asuransi maka tidak perlu lagi ada rumahsakit yang minta deposit pada pasiennya," katanya.

Boy mengatakan dengan adanya asuransi maka lebih aman, lebih terjamin, karena segalanya sudah ada perhitungannya, jadi asuransi itu merupakan perencanaan yang lebih memudahkan dan lebih baik, tandasnya

Boy menyarankan agar rumah sakit meninggalkan paradigma lama yang tidak berorientasi pada pelayanan masyarakat. Untuk menjadi rumahsakit moderen, Boy sudah menulis buku mengenai manajemen rumah sakit.

Selain sebagai praktisi manajemen rumah sakit, Boy rajin menulis buku berdasarkan teori-teori manajemen rumahsakit dan pengalamannya dalam menjalankan manajemen rumahsakit. Boy telah menulis sekitar 40 judul buku tentang manajemen rumah sakit selama kurun waktu lima tahun.

Agar rumah sakit bisa menerapkan perubahan, Boy juga mengeluarkan perangkat lunaknya yang diberi judul Sistem Informasi Anggaran Operasional Rumah Sakit.

Museum Rekor Indonesia (MURI) telah menobatkan Boy sebagai penulis produktif. Penghargaan MURI tersebut diberikan kepada Boy agar orang lain terinspirasi menulis buku.

Rabu, 04 Februari 2009

Bagaimana seharusnya Organisasi dan Manajemen Rumah Sakit di Indonesia melakukan Pembenahan Strategis

Bagaimana seharusnya Organisasi dan Manajemen Rumah Sakit di Indonesia melakukan Pembenahan Strategis untuk dapat menjadi Rumah Sakit yang memberikan pelayanan bermutu, efisien dengan tingkat efektifitas klinis dan keamanan/keselamatan yang tinggi kepada masyarakat tanpa adanya perbedaan atau diskriminasi khususnya berdasarkan status ekonomi mereka serta semata hanya merujuk kepada diagnosis/jenis kesakitan dan gangguan kesehatan mereka.

PENDAHULUAN

Pada peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-44, Menteri Kesehatan RI menyatakan sejumlah hal yang menjadi prioritas tinggi yang dilakukan Depkes RI diantaranya adalah mengarahkan Rumah Sakit sebagai sarana kesehatan yang mampu mengatasi masalah kesehatan yang handal, bermutu, dan mengutamakan keselamatan pasien (patient safety), Kompas 18 Desember 2008.

Prioritas Depkes RI menjadi inspirasi RSUD-RSUD untuk mewujudkannya, apalagi pada era otonomi daerah saat ini, Pemerintah Daerah (Tingkat I dan II) yang merupakan salah satu stakeholder selain masyarakat punya andil besar untuk mereformasi manajemen perumahsakitan di daerah. Mengingat secara struktur wilayah RI yang begitu luas, sangat bijak jika fokus reformasi manajemen Rumah Sakit adalah RSUD-RSUD. Karena, sektor perumahsakitan merupakan asset utama daerah dengan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pendapatan asli daerah (PAD). Apalagi menjadi salah satu tolak ukur politik seorang Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) dalam melayani masyarakat. Maka salah satu yang menjadi pertimbangan adalah melakukan transformasi lingkungan sosial ekonomi RSUD yang berbasis teknologi medis seiring dengan perkembangan penyakit saat ini.

RSUD-RSUD paling tidak punya standar optimal agar dapat memberikan manfaat kepada semua stakeholder. Beberapa dimensi yang perlu menjadi fokus utama dalam memperbaiki organisasi dan manajemen rumah sakit yaitu :

(1)Dimensi pelayanan yang bermutu, efisien, dengan tingkat efektivitas klinis.

(2)Keamanan dan keselamatan yang tinggi kepada masyarakat tanpa harus membedakan latar belakangstatuspasien.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis merumuskan beberapa dimensi yang menjadi fokus kerja adalah :

(1)Pembenahan fisik Rumah Sakit dengan orientasi pelayanan dan kenyaman untuk pasien dan keluarga.

(2)Pembenahan budaya medis, paramedis dan karyawan secara keseluruhan yang berorientasi peduli dan professional pada pasien, keluarga dan lingkungan.

(3)Pembenahan manajemen keuangan yang akuntabel, manajemen SDM dan infrastuktur sistim informasi pelayanan rumah sakit berbasis data.

(4)Melakukan kerjasama dengan pihak ke-3 dalam hal kerjasama pendanaan fasilitas pelayanan rumah sakit dan mengembangkan sumber daya manusia professional yang berorientasi pada kebutuhan peningkatan status RSUD.

PEMBAHASAN

Dalam hal melakukan pembenahan organisasi dan manajemen rumah sakit di Indonesia, peran stakeholder – pemerintah, legsilatif, masyarakat, dan praktisi medis dan paramedis harus bersinergis dalam rangka memajukan kesehatan rakyat dari Sabang hingga Merauke.

Berikut kerangka kerja yang menjadi fokus pembenahan organisasi dan manajemen rumah sakit adalah :

1) Pembenahan fisik rumah sakit dengan orientasi pelayanan dan kenyamanan untuk pasien dan keluarga.

2) Pembenahan fisik fungsi bangunan RSUD ini bertujuan menciptakan suasana ruangan klinik yang professional, efektif, dan mengacu pada keselamatan medis, non medis, pasien dan keluarga pasien.

Kerangka kerja pembenahan tersebut adalah :

a) Mendesign ulang standar fungsi bangunan RSUD dengan orientasi kenyamanan untuk pasien dan keluarga.

b) Menata ulang konsep ruang rawat inap pasien dengan standar kenyamanan, kebersihan, keselamatan, pemulihan kesehatan pasien.

c) Standarisasi lay out Instalasi Gawat Darurat (IGD), ruang poliklinik yang berorientasi standar keselamatan kerja kesehatan RS, profesional dan efektif.

d) Mendesign sistim integrasi instalasi air dan lokasi pembuangan limbah RS dengan standar keselamatan kesehatan kerja untuk RSUD.

3) Pembenahan budaya medis, paramedis dan karyawan secara keseluruhan yang berorientasi peduli dan professional pada pasien, keluarga dan lingkungan.

Dalam hal melakukan pembenahan budaya ini, tentunya menyangkut perilaku atau kebiasaan yang telah lama terbentuk di lingkungan RSUD. Maka pembenahan di bidang ini harus berlangsung secara berkesinambungan yaitu :

a) Membentuk tim yang akan merumuskan poin-poin perubahan budaya kerja RSUD.

b) Menetapkan standar pelayanan kepada tamu, pasien, keluarga pasien dalam menjawab pertanyaan baik secara tatap muka maupun melalui alat komunikasi. Sebagai contoh standarisasi Greeting via telepon ”Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam dengan RSUD ”A” dengan ”nama” bisa dibantu?

c) Membuat program-program yang dapat menstimulasi agar semua sumber daya manusia di RSUD terbiasa dengan kebersihan ruang kerja, ruang klinik, ruang perawatan, dan lain lain.

d) Membuat program-program yang dapat menstimulasi SDM RSUD agar peduli terhadap kepentingan pasien dan keluarganya seperti reward kepada medis, paramedis, dan karyawan yang memberikan pelayanan terbaik kepada pasien, keluarga pasien dan lingkungan kerja RS.

4) Pembenahan manajemen keuangan yang akuntabel, manajemen SDM dan infrastuktur sistim informasi pelayanan rumah sakit berbasis data.

5) Pembenahan bidang manajemen keuangan ini bermaksud agar RSUD dapat memberikan keuntungan yang maksimal bagi stakeholder (Pemerintah Daerah, Masyarakat, SDM-nya). Berikut kerangka kerja yang akan dilakukan adalah :

a) Membentuk tim untuk menata ulang sistim pembukuan RSUD yang akuntabel.

b) Memaksimalkan fungsi bidang Perencanaan, Penelitan dan Pengembangan, bidang SDM untuk menata ulang tingkat kebutuhan dokter-dokter umum dan dokter-dokter spesialis agar sistim kaderisasi dokter-dokter umum menjadi spesialis terencana.

c) Mendesign ulang metoda pelaporan pembukuan keuangan RSUD dari manual ke digital.

d) Melakukan identifikasi dan membangun :

· Proses sistim pelaporan keuangan RSUD dari pendaftaran pasien, rawat inap atau rawat jalan, pembayaran.

· Proses sistim pengadaan barang dan jasa, obat-obatan.

· Sistim manajemen sumber daya manusia.

e) Mendesign ulang infrastruktur sistim informasi manajemen RSUD secara bertahap. Seperti : alat komunikasi antar ruangan, keluar, petunjuk-petunjuk keselamatan kerja RS, instalasi switch on/off genset.

f) Mendesign ulang infrastruktur Keselamatan Kerja RS.

g) Melakukan kerjasama dengan pihak ke-3 dalam hal kerjasama pendanaan fasilitas pelayanan rumah sakit.

6) Pihak manajemen RSUD agar dapat responsif terhadap pendanaan untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembenahan fasilitas. Kerangka kerja yang dapat dijadikan inspirasi adalah :

a) Membentuk tim yang dapat merencanakan Rancangan Pengembangan RS secara jangka pendek, menengah, panjang.

b) Menjalin komunikasi dengan Pemerintah Daerah selaku stake holder agar porsi anggaran RSUD lebih besar secar bertahap setiap tahun.

c) Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah agar melakukan kerja sama dengan pihak Asuransi Jiwa dan Kesehatan.

Hal ini dilakukan dengan cara Pemerintah Daerah menyisihkan anggaran belanja daerah (APBD) menutup polis asuransi jiwa dan kesehatan secara massal untuk semua penduduk di daerah tersebut. Model kerja sama ini bertujuan agar semua pasien (mampu dan kurang mampu) dapat dilayani tanpa adanya perbedaan atau diskriminasi dan hanya merujuk kepada diagnosis/jenis kesakitan dan gangguan kesehatan mereka, dan pihak manajemen RSUD dapat mengajukan klaim kepada perusahaan Asuransi jika ada tindakan-tindakan medis baik kecil maupun besar.

d) Memberikan usulan kepada Pemerintah Daerah agar melakukan kerjasama dengan pihak ketiga (pengusaha) dalam hal pengembangan Bangunan RSUD.

Pola kerjasama ini sebagai contoh RSUD akan membangun paviliun eksekutif, maka model kerjasama BOT (Build on Transfer) dengan pihak ketiga memungkin untuk dilakukan.

Kerjasama BOT adalah dimana kerjasama kontrak kerja Pemerintah Daerah atau RSUD yang memiliki tanah dan pihak ketiga melakukan pembangunan gedung tersebut, pihak ketiga memiliki bangunan tersebut selama 10 atau 15 atau 20 tahun atau sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Selama kontrak perjanjian BOT tersebut, pihak ketiga dapat memaksimalkan bangunan secara komersial. RSUD dapat menyewa bangunan tersebut dengan harga khusus atau sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Dengan demikian, RSUD akan memperoleh nilai tambah baik dari segi mutu pelayanan, pendapatan finansial maupun kenyaman pasien kelas khusus atau eksekutif maupun keluarga pasien.

7) Membuat rencana kerja untuk meningkatan profesi SDM medis menjadi dokter spesialis, paramedis, karyawan RSUD setiap tahun.

Rencana kerja tersebut diajukan ke Pemda untuk memperoleh beasiswa belajar secara berkesinambungan.

PENUTUP

Demikian beberapa hal yang akan dilakukan pembenahan secara strategis dan bertahap terhadap RS atau RSUD sesuai dengan skala prioritas yang akan dilakukan pihak manajemen RS.