Jumat, 13 Maret 2009

Perlu Ada Rumah Sakit Khusus AIDS

Kompas, 11 Februari 2009, Medan — Komisi Perlindungan AIDS (KPA) Sumut mengusulkan membuat rumah sakit peduli AIDS demi mengurangi stigma (pandangan negatif) terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di rumah sakit swasta.

Sekretaris KPA Sumut, Achmad Ramadhan, di Medan, Selasa, mengatakan, dewasa ini di berbagai daerah, dokter yang peduli AIDS sudah ada. Namun, rumah sakit yang peduli AIDS belum ada.

"Dengan adanya rumah sakit peduli AIDS maka stigma terhadap pelayanan pasien HIV/AIDS dapat diminimalisir karena stigma rumah sakit swasta khususnya dalam melayani pasien HIV/AIDS masih cukup tinggi tanpa alasan yang jelas," katanya.

Ia mengatakan, pihaknya telah berupaya meniadakan stigma tersebut dengan menggelar berbagai kegiatan penatalaksanaan pasien HIV/AIDS beberapa waktu lalu.

Namun, sebagian besar rumah sakit swasta tidak merespons dengan baik. Pihaknya juga telah berupaya melakukan pendekatan kepada rumah sakit untuk mencari alasan apa yang menyebabkan mereka kurang peduli melayani pasien HIV/AIDS.

"Namun, jawaban yang kita terima dari pihak rumah sakit sungguh tidak memuaskan," katanya.

Di sisi lain, kata dia, pihaknya juga terus berupaya meningkatkan koordinasi dengan sejumlah lembaga peduli AIDS di Sumut, termasuk akan memberikan pelatihan konselor Voluntary Conseling and Testing (VCT) di tujuh kabupaten/kota yang dibuat Dinas Kesehatan Sumut.

Kamis, 12 Maret 2009

RS Kelas Dunia akan Bendung Arus Pasien ke Luar Negeri

Kompas, 22 September 2008 | Pembangunan fasilitas pelayanan rumah sakit kelas dunia di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) diharapkan dapat menekan jumlah pasien dalam negeri yang selama ini memilih berobat luar negeri. Fasilitas pelayanan bertaraf dunia di RSCM diyakini tidak akan kalah dengan rumah sakit lain di luar negeri.

"Ini kualitas pelayanannya akan sama bagusnya dengan rumah sakit luar negeri. Harapannya, ini dapat mengurangi aliran orang Indonesia yang berobat ke luar negeri," ungkap Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, seperti dikutip Antara, usai pemancangan tiang pertama pembangunan Gedung International Wing di RSCM Jakarta, Senin (22/9).

Menkes menekankan, meski rumah sakit RSCM memiliki fasilitas kelas dunia, tetapi pasien yang diprioritaskan untuk mendapat pelayanan adalah masyarakat di dalam negeri.

"Kita bikin ini bukan untuk menarik pasien dari luar negeri, tapi lebih untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat," ungkap Menkes.

Sementara itu Direktur Utama RSCM, Prof. Akmal Taher Sp.U(K) menambahkan dengan hadirnya layanan kelas dunia di Gedung Sayap International (international wing), RSCM dituntut meningkatkan kualitas dan mampu melayani berbagai kasus yang sulit dan kompleks.

"Sebenarnya inilah salah satu pengertian yang paling mendasar dari suatu rumah sakit kelas dunia, yaitu kemampaun untuk menanggulangi kasus-kasus yang sulit dengan keberhasilan yang tinggi," ujarnya.

Ia menjelaskan, peningkatan status sebagai rumah sakit kelas dunia juga menuntut perubahan budaya menuju pelayanan yang lebih baik, baik dokter perawat maupun tenaga non-medik.
"Jelasnya, pembangunan gedung yang baik tentu merupakan hal penting, tetapi tanpa perubahan budaya layanan, maka hal itu akan jadi sia-sia," ungkapnya.

Akmal berjanji tidak akan ada perbedaan kualitas pelayanan baik di gedung layanan untuk publik (Public Wing) dengan gedung sayap internasional (International Wing). "Kalau ada perbedaan lebih pada unsur layanan hotel atau akomodasi," tandas Akmal Taher.

Rabu, 11 Maret 2009

Rumah Sakit Pemerintah Sulit Terapkan Larangan Merokok

Kompas, 17 Februari 2009
Surabaya - Rumah sakit milik pemerintah di Kota Surabaya kesulitan menerapkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Rokok.

"Sepertinya perda itu susah diterapkan di rumah sakit pemerintah. Hampir semua penunggu pasien merokok," kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, dr. Esty Martiana Rachmie, di Surabaya, Selasa.

Berbeda dengan di rumah sakit swasta yang relatif lebih mudah dalam menerapkan perda tersebut. "Harus diakui memang ada perbedaan kultur dan perilaku masyarakat yang datang ke rumah sakit umum dengan rumah sakit swasta," katanya.

Padahal seharusnya rumah sakit menjadi prioritas utama fasilitas umum yang menerapkan perda tersebut. Justru sebaliknya yang lebih dulu menerapkan aturan itu adalah Surabaya Plaza Hotel.

Bahkan manajemen hotel tersebut telah menindak enam tamunya yang kedapatan merokok di dalam area hotel. Lima dari enam tamu tersebut dikenai denda sebesar Rp1 juta.

"Mungkin kalau di rumah sakit umum penerapannya secara persuasif dan bertahap. Tidak bisa dilakukan secara revolusioner," kata Esty saat ditemui di Surabaya Plaza Hotel.

Ia mengharapkan aturan tersebut akan berlaku efektif pada bulan Oktober 2009 bersamaan dengan penerapan aturan itu di kendaraan umum.

"Sebenarnya dalam aturan ini, kami tidak melarang orang untuk merokok. Hanya penekananannya pada pembatasan, sehingga orang merokok tidak di sembarang tempat," katanya meluruskan.

Dalam kesempatan itu Esty menambahkan, penerapan perda tersebut tidak membidik orang per orang, termasuk anggota DPRD Kota Surabaya yang mengesahkan perda itu.

"Kalau sekarang masih banyak anggota DPRD merokok di ruang kerjanya, itu bukan target kami. Karena perda ini bukan diberlakukan pada orang per orang," katanya.

Demikian pula dengan penerapan perda tersebut di kantor Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, menurut dia, akan diberlakukan secara bertahap.

"Nanti semua sarana dan fasilitas umum yang ada di kota ini akan menjadi kawasan terbatas rokok. Jadi, kami tidak akan pandang bulu dalam menerapkan aturan ini," kata Esty.