Selasa, 7 April 2009 | 21:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Rumah sakit mesti menyiapkan sumber daya manusia dan sarana pendukung yang dibutuhkan untuk penanganan bencana.
Salah satu sarana yang sangat dibutuhkan untuk mendukung penanganan masalah kegawatdaruratan bencana adalah ambulans yang bisa bergerak cepat.
"Dari 100 pasien gawat darurat, 50 persen di antaranya meninggal dunia dalam 10 menit karena itu harus tersedia cukup ambulans yang bisa tiba di lokasi dalam waktu 10 menit setelah kejadian," kata Ketua Yayasan Ambulans 118 Prof Aryono D Pusponegoro di sela seminar tentang peran fasilitas kesehatan dalam kondisi gawat darurat bencana di Jakarta, Selasa.
Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Adib Yahya sependapat dengan Prof Aryono soal pentingnya rencana kesiapsiagaan bencana di rumah sakit.
Ia mengatakan, pihaknya bersama dengan Departemen Kesehatan dan Ikatan Ahli Bedah Indonesia sudah membuat panduan penyusunan rencana kesiapsiagaan bencana rumah sakit.
"Sudah selesai dibuat, tinggal menunggu aturan dari departemen agar bisa diterapkan," katanya.
Ia menjelaskan pula bahwa rencana kesiapsiagaan menghadapi bencana sudah masuk dalam daftar penilaian akreditasi rumah sakit sehingga rumah sakit-rumah sakit yang sudah terakreditasi otomatis sudah memiliki rencana kesiapsiagaan menghadapi bencana. "Sebenarnya tiap rumah sakit sudah punya, cuma belum terarah saja," demikian Adib Yahya.
Selasa, 07 April 2009
Minggu, 05 April 2009
Salurkan Askeskin ke Rumah Sakit
Kompas, 18 Pebruari 2009 - Sistem pengelolaan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) yang ditangani PT Askes dinilai buruk dan PT Askes diragukan apakah mampu memperbaiki pola pelayanan. Karena itu sebaiknya Depkes tidak perlu memperbarui kontrak pengelolaan Askeskin dengan PT Askes.
Demikian dikemukakan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah H Kasmir Triputra di Jakarta, Senin (18/2).
Sebaiknya ide Menkes untuk mentransfer dana Askeskin langsung ke rekening rumah sakit bisa direalisasikan dan justru akan lebih baik bila dana Askeskin tersebut diserahkan dan dikelola langsung oleh pemerintah daerah.
Jika dana Askeskin bersama anggaran Jamkesos yang tersedia di APBN telah lebih dahulu ditransfer dan dikelola oleh pemerintah daerah, ditambah dengan alokasi APBD untuk bidang kesehatan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah bisa diprogramkan untuk Askeskin, baik dengan pola langsung maupun pola asuransi sehingga pemerintah daerah bisa membuat kebijakan untuk memberlakukan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga (termasuk RS swasta) tanpa ada persyaratan yang menyulitkan seperti harus memiliki kartu miskin dan surat keterangan.
Efek positifnya adalah dengan pengelolaan Askeskin langsung oleh rumah sakit maka pelayanan kesehatan sepenuhnya sudah menjadi urusan pemerintah daerah dan bukan lagi tanggung jawab pemerintah pusat. Hal ini akan menjadi titik awal yang baik bagi penerapan otonomi daerah dan mengubah pola pikir birokrasi yang selalu sentralistik.
Mekanisme dan keterlambatan Askeskin selama ini telah memperburuk pelayanan dan citra rumah sakit.
Fakta selama ini membuktikan desain kebijakan untuk rakyat miskin acapkali tidak diikuti dengan penataan mekanisme dan penyesuaian kondisi yang terjadi di lapangan. Artinya, kebijakan yang diambil pemerintah dalam hal Askeskin sering tidak berpihak pada kebutuhan rumah sakit.
”Penyaluran Askeskin ke rumah sakit akan memperkuat daya dukung dan kecepatan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,” ujar Kasmir Triputra.
Pengelolaan dana Askeskin oleh pemerintah daerah akan memperkuat fiskal daerah. Mekanisme penyalurannya pun dapat diubah dengan diberlakukannya kontrak langsung antara perusahaan asuransi dan pemerintah daerah di bawah pengawasan Depkes.
Demikian dikemukakan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah H Kasmir Triputra di Jakarta, Senin (18/2).
Sebaiknya ide Menkes untuk mentransfer dana Askeskin langsung ke rekening rumah sakit bisa direalisasikan dan justru akan lebih baik bila dana Askeskin tersebut diserahkan dan dikelola langsung oleh pemerintah daerah.
Jika dana Askeskin bersama anggaran Jamkesos yang tersedia di APBN telah lebih dahulu ditransfer dan dikelola oleh pemerintah daerah, ditambah dengan alokasi APBD untuk bidang kesehatan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah bisa diprogramkan untuk Askeskin, baik dengan pola langsung maupun pola asuransi sehingga pemerintah daerah bisa membuat kebijakan untuk memberlakukan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga (termasuk RS swasta) tanpa ada persyaratan yang menyulitkan seperti harus memiliki kartu miskin dan surat keterangan.
Efek positifnya adalah dengan pengelolaan Askeskin langsung oleh rumah sakit maka pelayanan kesehatan sepenuhnya sudah menjadi urusan pemerintah daerah dan bukan lagi tanggung jawab pemerintah pusat. Hal ini akan menjadi titik awal yang baik bagi penerapan otonomi daerah dan mengubah pola pikir birokrasi yang selalu sentralistik.
Mekanisme dan keterlambatan Askeskin selama ini telah memperburuk pelayanan dan citra rumah sakit.
Fakta selama ini membuktikan desain kebijakan untuk rakyat miskin acapkali tidak diikuti dengan penataan mekanisme dan penyesuaian kondisi yang terjadi di lapangan. Artinya, kebijakan yang diambil pemerintah dalam hal Askeskin sering tidak berpihak pada kebutuhan rumah sakit.
”Penyaluran Askeskin ke rumah sakit akan memperkuat daya dukung dan kecepatan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,” ujar Kasmir Triputra.
Pengelolaan dana Askeskin oleh pemerintah daerah akan memperkuat fiskal daerah. Mekanisme penyalurannya pun dapat diubah dengan diberlakukannya kontrak langsung antara perusahaan asuransi dan pemerintah daerah di bawah pengawasan Depkes.
Langganan:
Postingan (Atom)